MUDRA

Mega Yohana
Chapter #7

Manik Mirah

Pria di hadapan Ki Kutis itu tak lain adalah Rakryan Mapatih Pu Manik Mirah.

Tidak ada orang di Suranagara yang tidak mengenal Pu Manik Mirah. Lukisan wajahnya menghiasi berbagai kakawin dan puja sastra. Kisah tentangnya selalu diceritakan oleh para kathaka—pencerita—dan diulang-ulang dengan berbagai pengembangan.

Berhadapan langsung seperti ini, Ki Kutis menyadari bahwa lukisan pada kitab-kitab kepahlawanan yang tersebar itu tidak ada apa-apanya dibanding sosok asli Mapatih Pu Manik Mirah. Di mata Ki Kutis, dia tampak begitu agung hingga Ki Kutis bertanya-tanya dalam hati, jika patih utamanya saja seagung ini, bagaimana rupa Prabu Jayakarana?

Manik Mirah menatap Ki Kutis yang berlutut di lantai. “Paman,” panggilnya, “angkat kepalamu. Duduklah.”

Ki Kutis mengangkat wajahnya ragu-ragu. Saat melihat Manik Mirah tersenyum kepadanya, dia pun mengangguk dan duduk di dingklik yang ada di dekatnya. Dia tidak berani mendekat kepada Mapatih yang menurutnya sama agungnya dengan Gusti Prabu.

“Gusti Prabu sedang tidak berada di tempat,” ujar Manik Mirah, tampak memahami raut muka pria di hadapannya. “Kabar apa yang Paman bawa?”

Dia tidak menanyakan nama Ki Kutis, tidak pula memberikan semacam pertanyaan ujian untuk memeriksa kebenaran tentangnya. Bahwa Ki Kutis bukan mata-mata musuh, misalnya. Sepengalaman Ki Kutis, seseorang bisa bersikap demikian karena dua hal. Satu, dia sudah mengetahui. Dua, dia terlalu kuat untuk mencemaskan lawannya.

Ki Kutis menyisihkan pemikirannya. Dia lekas menuturkan berita yang dibawanya.

Pu Manik Mirah mendengarkan dengan saksama. Setelah Ki Kutis selesai bercerita, dia memanggil seseorang.

“Sakhayu,” begitu nama yang diucapkannya, dan pria beraura dingin yang tadi membawa Ki Kutis masuk ke sini mendekat kepadanya.

Manik Mirah mengatakan sesuatu kepada pria itu, sangat lirih sehingga Ki Kutis tidak dapat mendengar apa pun. Dia lihat si pria berpakaian hitam mengangguk, lalu mendekat kepada Ki Kutis dan berdiri di sampingnya.

"Bisakah saya lihat benda yang Paman bawa?" pinta Manik Mirah.

Ki Kutis mengangguk. Dia menyerahkan buntalannya kepada pria dingin yang berdiri di sampingnya. Pria itu lantas memberikan buntalan tersebut kepada Manik Mirah, yang membukanya dengan penuh minat.

Manik Mirah mengusap permukaan pedang dengan jari-jarinya, menelusuri setiap ukiran pada sisi pecahan pedang itu. Setelah beberapa saat yang sunyi, dia membungkus kembali pecahan pedang itu dan menaruhnya di meja dekat palinggihan.

“Paman,” panggilnya, “sementara tinggallah di sini. Sakhayu akan membawa Paman ke tempat yang aman. Sementara di sini, jangan pernah keluar, jangan katakan siapa nama Paman atau dari mana Paman berasal. Dan yang utama, jangan pernah katakan apa yang terjadi di Paminggir kepada siapa pun.”

Lihat selengkapnya