MUDRA

Mega Yohana
Chapter #8

Siasat-Siasat

Wreddhamantri1 Arya Angiri mondar-mandir dengan gelisah. Kain panjang yang dikenakannya menyapu lantai. Kedua alisnya mengerut, raut mukanya tampak kurang senang.

Di dalam ruangan itu hanya ada dirinya dan dua orang laki-laki yang lebih muda. Kedua laki-laki duduk di dingklik, tak bersuara, dan sesekali bertukar pandangan. Tak ada dari mereka yang berani mengusik sang menteri sepuh yang suasana hatinya sedang tidak begitu bagus.

Setelah entah berapa puluh kali berjalan bolak-balik, Wreddhamantri Arya Angiri berhenti tiba-tiba. Tubuhnya menyamping, kakinya menendang bergantian kedua laki-laki yang duduk di dingklik. Kedua laki-laki itu terjengkang. Mereka segera berlutut dengan kepala menempel di lantai, tak berani menentang.

Napas Wreddhamantri Arya Angiri memburu. Matanya merah, nyalang bagaikan terbakar api kemarahan. Dia sedikit membungkuk. Satu tangannya berkacak pinggang dan satu lagi menuding kedua pria yang berlutut di kakinya.

“Jika sampai aku tidak mendengar kabar hingga besok pagi, jangan harap kalian bisa melihat matahari lagi,” ancamnya dengan nada berat.

Tubuh kedua laki-laki di hadapannya bergetar. Mereka sebenarnya bukan orang biasa. Mereka memiliki kuasa terhadap beberapa juru2 pasukan yang siap sedia mendengarkan perintah mereka.

Di medan perang, mereka adalah senapati pilih tanding. Banyak peperangan mereka menangkan, banyak nyawa lepas di tangan mereka. Namun, di hadapan Wreddhamantri Arya Angiri, keduanya mengerdil, mengerut seperti jambu klampok yang layu dan kering.

“Pergi!” titah Wreddhamantri Arya Angiri kepada mereka.

Tanpa perlu diperintah dua kali, kedua senapati itu segera undur diri dari hadapan sang menteri sepuh. Mereka menutup pintu kediaman Wreddhamantri dengan hati-hati. Bertukar pandangan, lalu sama-sama mengangguk sebelum berpisah jalan menuju arah yang berbeda.

Salah satu dari mereka, yang berbadan lebih ramping dan berkumis, menuju ke pagĕḍogan dan mengambil seekor kuda. Kuda-kuda lain meringkik. Saat melihat bahwa orang yang mengganggu istirahat mereka bukanlah orang asing, kuda-kuda itu segera tenang kembali.

Si pria berkumis memasang pelana, kekang, dan sanggurdi yang tersedia di kandang pada kuda cokelat yang dipilihnya. Dalam sekali menjejak, dia mengangkat tubuh ke punggung kuda tersebut dan menarik kekang. Kakinya menepuk tubuh samping si kuda, membuat kuda itu berjalan.

Saat ini sudah hampir tengah malam. Bintang gemintang bertaburan di langit yang gelap. Cahaya bulan yang keperakan memandu si pria berkumis. Dia menghela kudanya melewati gapura utama, mengejutkan para penjaga gapura yang terkantuk-kantuk. Dengan gelagapan mereka bergegas membukakan gapura dan menjura3 saat pria itu melewati mereka.

Sang senapati berkumis menghela kudanya melewati jalan utama. Gajah-gajah di kanan kiri jalan tidur dengan tenang. Saat telinga lebar mereka menangkap derap kaki kuda, mereka membuka mata sekilas sebelum kembali tidur. Si senapati terus memacu kudanya hingga ujung jalan, lalu berbelok ke kiri.

Lihat selengkapnya