Rājamudra atau segel sang raja adalah benda paling penting di Suranagara. Dikatakan bahwa siapa pun yang memegang segel itu dapat menguasai seluruh Suranagara.
Kerajaan Suranagara terbentang dari Madraka di ujung timur hingga Paminggir di ujung barat, melingkupi hampir tiga perempat pulau utama sekaligus pulau-pulau kecil di sekitarnya. Begitu disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga di benua lain dan ditakuti oleh kerajaan-kerajaan bawahan.
Satu-satunya tempat di seluruh pulau utama, seperempat bagian pulau yang tidak tunduk terhadap kekuasaan Suranagara, tidak lain adalah wilayah Śabara. Wilayah ini berupa hutan purwa, rimba raya yang hampir tak terjamah manusia—setidaknya manusia selain orang-orang Śabara—dan kabarnya dipenuhi berbagai jenis binatang buas dan bermacam-macam kala. Kabut pekat menyesatkan siapa saja yang mencoba memasuki hutan itu, dan di baliknya … jauh di kedalaman hutan, orang-orang Śabara tinggal.
Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana kehidupan di Śabara, tetapi orang-orang Śabara digambarkan sebagai orang-orang liar yang hidup bersama para binatang dan menyatu dengan alam. Mereka tidak mendengar dan tidak tunduk kepada siapa pun selain Sang Narottama, menjawab hanya kepada Sang Narottama yang mereka anggap sebagai penyambung antara alam manusia dan alam kasiddhyan1.
Kecuali jika rājamudra ditemukan.
Bahkan Sang Narottama akan berlutut di hadapan rājamudra.
Begitu hebatnya kekuasaan rājamudra hingga banyak orang menginginkannya. Namun, telah berabad-abad lamanya benda itu menghilang.
Setidaknya, hingga Wreddhamantri Arya Angiri menemukan keberadaan benda itu di tangan seorang bocah dari wilayah perbatasan.
Tentu saja Wreddhamantri Arya Angiri tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia sudah banyak mempelajari tentang rājamudra, sekarang saatnya dia memetik buah dari kegigihannya selama ini.
Kisah tentang rājamudra tercatat dalam rontal sejarah Suranagara, dalam Kakawin Mahāyajamāna2 dan dalam Babad Suranagara.
Dikisahkan dalam Kakawin Mahāyajamāna bahwa dahulu, saharsawarsa3 yang lalu ketika Kanakadwipa masih muda, pulau ini masih berupa alam liar yang wingit dan dihuni pula oleh segala macam kala dan rākṣasa4.
Manusia menjalani kehidupan liar. Suku-suku pedalaman saling membunuh, berperang satu sama lain memperebutkan wilayah atau makanan. Dalam keadaan seperti itu, yang kuatlah yang bisa bertahan.