MUDRA

Mega Yohana
Chapter #11

Bangun

Surasena melenguh lirih. Kepalanya seperti dipukul-pukul oleh benda tumpul, berdenyut-denyut luar biasa.

Surasena mencoba membuka mata. Sinar yang menyilaukan merangsek masuk ke celah matanya begitu terbuka. Dia segera memejam lagi, sambil tangan kanannya bergerak menutupi mata. Perlahan-lahan, pemuda belia itu membuka kembali kedua matanya sambil berlindung di balik bayangan jari-jari tangan. Setelah matanya cukup terbiasa dengan cahaya, dia bermaksud bangkit dengan bertumpu lengan kiri. Nyeri seketika menyerang perutnya, membuat Surasena mengerang dan kembali merebahkan tubuh.

Sepotong ingatan timbul dalam benak Surasena.

Malam hari, para pemburu dari Śabara tiba-tiba menyerang. Ramanya mendorong Surasena pergi dan dia berlari bersama Ki Dama. Di tepi sungai, para pemburu dari Śabara kembali mengepung. Ki Dama melemparkan Surasena ke sungai.

Tangan Surasena bergerak cepat meraba dada. Dia menghela napas lega saat mendapati kalungnya masih berada di sana.

Memperhatikan dirinya, Surasena menyadari bahwa dia berbaring di sebuah amben kayu. Selembar kain lebar dan tipis menyelimuti tubuhnya. Surasena menyibak kain itu dan melihat perutnya terbalut kain. Dia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Dia berada di dalam sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan beratapkan anyaman daun nipah. Di samping amben tempatnya berbaring terdapat meja kayu. Di meja itu terdapat sebuah kendi.

Surasena merentangkan tangan untuk meraih kendi di meja dan perlahan meminum airnya. Karena pemuda itu setengah berbaring ditambah tangannya gemetar lantaran tidak bertenaga, air sedikit tumpah ke leher Surasena dan beberapa malah lolos ke dalam tenggorok alih-alih kerongkongan. Surasena tersedak dan batuk-batuk. Nyeri di perutnya seperti ditarik-tarik tiap kali dia terbatuk.

Surasena mengusap-usap dada dan menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Dia lakukan itu beberapa kali hingga rasa sakit di tenggorokannya reda dan dia tidak batuk lagi. Kemudian, sambil menautkan kedua alis dan menggigit bibir bawah agar tidak mengerang, Surasena bangkit duduk. Dia gunakan kain yang tadi menyelimutinya untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang telanjang.

Satu per satu dia turunkan kedua kakinya. Bertelanjang kaki menjejak tanah yang terasa dingin, pemuda itu menahan napas dan mencoba berdiri. Kakinya gemetar. Surasena dengan sigap menumpukan tangan di meja. Setelah beberapa saat, dia menegakkan tubuh dan kembali menghela napas panjang. Kakinya melangkah dengan hati-hati, selangkah demi selangkah menuju pintu yang terbuka lebar.

Sampai di pintu, Surasena bersandar pada kosen. Sebelah tangannya menaungi mata saat dia menyapukan pandangan ke sekitar.

Langit berwarna biru cerah dengan bercak-bercak awan putih di sana sini. Matahari hampir berada di puncak, sinarnya begitu terang dan memancarkan hawa panas.

Di halaman rumah sebelah kiri terdapat beberapa galah yang ditancapkan dan tidak sama tingginya. Beberapa induk ayam sedang mengais-ngais tanah diikuti anak-anak mereka. Tiga atau empat ekor jago berkeliaran, ada yang bertengger di atas panggung rendah di halaman sebelah kanan dan tampaknya mematuki biji-bijian atau sesuatu yang dijemur di sana.

Pagar rapat yang terbuat dari bambu berujung runcing mengelilingi halaman, dengan pintu di depan yang menutup.

Surasena berdeham untuk membersihkan suaranya yang serak. “Permisi,” ujarnya tidak terlalu keras. “Ada orang di sini?”

Rumah ini terasa sangat sepi. Ke mana perginya orang yang tinggal di sini?

Melihat ke sekeliling pagar, Surasena menyadari bahwa pepohonan yang tampak itu adalah pepohonan hutan. Rumah ini berada di tengah hutan.

Lihat selengkapnya