MUDRA

Mega Yohana
Chapter #12

Anak Bangsawan

Selera makan Surasena luruh. Dia meletakkan mangkuk bubur yang isinya masih tersisa sepertiga bagian di meja dan bangkit dari amben dengan cepat.

“Pelan-pelan!” tukas Mandalika menahan tubuh Surasena. “Memangnya kau mau ke mana?”

“Rumah. Saya harus pulang. Di rumah—”

Mandalika mendorong pundak Surasena sehingga terduduk lagi di dipan. “Setidaknya tunggulah sampai tubuhmu pulih. Kenapa tergesa-gesa? Memangnya di mana rumahmu? Biar aku ke sana dan mengatakan pada orang tuamu bahwa kau baik-baik saja di sini.”

Surasena mendongak kepada pemuda yang berdiri di depannya. Dia mengamati pemuda itu dengan saksama, dari ujung kepala ke ujung kaki. Dari perawakannya, pemuda itu terlihat lebih tua beberapa warsa di atas Surasena. Dia bertanya ragu, “Akak tidak tahu saya?”

“Hah?” Kedua alis Mandalika tertaut.

“Akak tidak tahu siapa saya?” tanya Surasena lagi.

Mandalika tertawa memperlihatkan gigi gingsulnya. “Ayi,” katanya, “bagaimana aku bisa tahu? Aku menemukanmu bertelanjang dada dengan perut robek dan tak sadarkan diri di tepi sungai. Tak ada lencana yang menunjukkan nama atau jati dirimu. Ini tidak seperti kau merajahkan namamu di lenganmu atau sesuatu. Jadi, bagaimana aku bisa tahu?”

Surasena meringis malu. Dia kira, semua orang di Paminggir tahu siapa dirinya. Eh, atau tempat ini berada di luar wilayah Paminggir? Rasanya tidak mungkin Surasena terbawa arus sampai keluar dari Paminggir. Jika dia hanyut sejauh itu, tentu dia tidak bisa selamat mengingat keadaan tubuhnya saat itu.

“Namaku Mandalika. Aku yang menemukan dan membawamu ke sini, tapi yang menjahit lukamu adalah guruku. Aku hanya sesekali mengganti bubuk kunyit dan kain pembebatnya."

“Oh.” Surasena mengangguk. “Terima kasih,” ujarnya, tidak tahu harus mengatakan apa selain itu. Surasena tidak pandai berbincang-bincang, dia biasanya cenderung menyendiri dan menyimak sementara orang-orang lain yang bercakap satu sama lain.

“Heh, begitu saja?” Mandalika mendengkus dengan setengah tersenyum mengejek sambil bersedekap. Melihat Surasena hanya menatapnya dengan pandangan bertanya, dia berdecak.

“Ck, setidaknya katakan namamu!”

“Oh, Surasena. Nama saya Surasena.” Surasena menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada dan sedikit membungkuk.

Melihat Surasena matalangkup seperti itu, Mandalika terperangah dan menurunkan tangannya yang semula bersedekap untuk menampik tangan Surasena. “Apa yang kaulakukan? Turunkan tanganmu!” sergah pemuda itu.

Surasena menurunkan tangannya dan menatap Mandalika. Bagi Surasena, itu adalah tatapan tak mengerti akan sikap Mandalika yang seperti kesal saat melihat dirinya menangkupkan tangan. Bagi Mandalika, tatapan Surasena itu terlihat seperti mata anak belacan yang kehilangan induknya. Mandalika makin kesal.

“Kenapa kau menatap—ck, sudahlah. Habiskan makananmu!” gerutu Mandalika sebelum pergi meninggalkan Surasena yang keheranan.

Surasena menunggu untuk beberapa saat. Namun, Mandalika tidak kembali. Itu membuat dirinya makin keheranan.

Lihat selengkapnya