MUDRA

Mega Yohana
Chapter #14

Ular Weling

Senapati Gagak Ireng memacu kudanya agar berderap lebih cepat. Kokok ayam jantan bersahut-sahutan di sepanjang jalan yang dia lewati. Warna hitam langit perlahan-lahan tersapu oleh biru gelap ketika matahari menyembul dari kaki langit di belakangnya.

Sebagaimana Senapati Lembu Anengah, Senapati Gagak Ireng juga merupakan salah satu pengikut Wreddhamantri Arya Angiri yang paling setia. Dia menghadap Wreddhamantri bersama Senapati Lembu Anengah beberapa malam lalu. Senapati berbadan ramping dengan kumis tipis itu kini sedang menuju ke sebuah pertemuan penting.

“Hiya, hiya!” Senapati Gagak Ireng mengarahkan kudanya memasuki hutan. Sebuah kurungan kecil dari bambu yang dia cantelkan di bagian belakang pelana bergerak berayun-ayun. Kurungan itu ditutupi kain hitam, dan di dalamnya terdapat seekor dara pengirim surat yang sudah terlatih.

“Hiiieeek!” Kuda Senapati Gagak Ireng tiba-tiba meringkik keras dengan dua kaki depan terangkat. Jika penunggang kuda itu adalah orang biasa, tentu sudah jatuh terlempar.

Dengan sigap si pria berbadan ramping dan berkumis tipis mengeratkan pegangan pada kekang kudanya, kedua kaki mengapit ketat badan si kuda.

Rupanya, seekor ular weling baru saja melintas.

Ular weling biasanya hanya keluar di malam hari. Keberadaannya di pagi buta ini mungkin saja karena ular itu sedang dalam perjalanan kembali ke sarangnya setelah berburu semalam.

Ular weling termasuk ular berbisa yang sangat mematikan. Menurut kepercayaan orang-orang tua, jika dalam perjalanan bertemu ular weling yang melintas atau berdiam melintang di jalan, kita harus berputar arah dan kembali. Kabarnya, keberadaan ular weling yang melintangi jalan yang kita lewati adalah sebuah pertanda buruk.

Senapati Gagak Ireng bukannya tidak percaya terhadap omongan orang-orang tua itu, tetapi sekarang dia harus bergegas.

Senapati Gagak Ireng menenangkan kudanya sebelum kembali menghela kekang, mendesak si kuda agar melanjutkan perjalanan. Tak lama, pria berusia tiga puluh enam warsa itu sampai di sebuah bukaan di tengah hutan. Bukaan itu tidak luas, kira-kira satu cengkal pasagi1 saja luasnya. Di tengahnya terdapat tenda kain kecil.

Bekas api unggun di depan tenda masih mengepulkan asap. Seorang pria berambut cepak duduk di dekat sisa-sisa api unggun itu, bersandar pada sebatang pohon dengan kepala menunduk dan tangan bersedekap. Demi mendengar langkah kuda mendekat, orang itu mendongak, menampakkan rajah berbentuk bulan sabit di keningnya. Matanya yang tampak mengantuk seketika membuka lebar saat melihat Senapati Gagak Ireng turun dari kuda.

“Gusti,” sapanya, segera berdiri dan menjura.

Senapati Gagak Ireng mengakui salam pria itu dengan anggukan. “Di mana tuanmu?” tanyanya kepada si pria berajah bulan sabit.

Pria itu menggeser posisinya, lalu merentangkan tangan kanan dengan sedikit membungkuk. Telapak tangannya terbuka, mengisyaratkan bahwa dia mempersilakan Senapati Gagak Ireng memasuki tenda.

Di dalam tenda, seorang pria duduk bersila dengan punggung tegak. Garis matanya yang dihiasi celak tengah tertutup. Tangannya diletakkan di lutut, telapak tangan menghadap atas dengan jari membentuk prāṇa mudra. Ujung jari manis dan jari kelingking menyentuh ujung jempol, sedangkan jari telunjuk dan jari tengah terjulur lurus dan saling menempel. Mudra ini secara umum berguna untuk penyembuhan.

Pria itu memakai ikat kepala dari kain hitam, sedangkan rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai. Beberapa perhiasan membanduli telinganya, salah satunya berupa taring macan. Cincin perak membanduli hidungnya. Berbagai macam kalung melingkari leher pria itu, beberapa di antaranya terbuat dari batu-batuan yang dironce. Pakaian pria itu berwarna hitam dan terbuka pada dadanya, menampakkan bekas luka bersilang. Kumis tebal melengkapi kegarangan penampilan pria itu.

Ketika mendengar kain tenda tersibak, dia membuka mata.

Lihat selengkapnya