Jika berjalan biasa, tentu Mandalika baru akan sampai di Paminggir sore hari. Atau malah esok pagi.
Dengan ajian Bayuwega, Mandalika sampai di Paminggir kurang dari sepenginangan. Pemuda itu berhenti di gapura kawatekan untuk meregangkan tubuh. Kemudian, dengan memanggul tongkat galih asam, dia berjalan menuju warung terdekat.
“Ada rarawwan, Nyai?” tanya Mandalika kepada ibu pemilik warung.
Rarawwan atau rawon adalah makanan yang terbuat dari daging, dengan kuah hitam dan bumbu rempah yang pekat dan sedap. Mandalika jarang sekali memasak rarawwan di rumah. Oleh karena itu, mumpung sedang bepergian, dia ingin makan rawon. Lumayan, pikirnya, sambil menyelam minum air.
“Ada,” sahut si ibu pemilik warung. “Mari, Den, silakan.”
Mandalika mengangguk dan memasuki warung. Dia memilih meja di sudut dekat jendela. Tongkat galih asam dia letakkan di lantai dekat kakinya. Duduk bersila, mata pemuda itu menyapu ruangan. Ada sekitar sepuluh orang di warung, termasuk ibu pemilik warung di depan dan seorang pelayan laki-laki yang lebih muda, mungkin anak pemilik warung.
“Ki Kutis kapan pulang, ya, Kang?”
Mandalika mendengar pria di meja sebelah berbicara dengan teman semejanya. Pemuda itu berdeham sambil menutup mulut dengan tangan untuk menahan tawa saat mendengar nama yang disebutkan pria di sebelah. Kutis adalah nama kumbang kotoran. Orang tua macam apa yang menamai anaknya dengan nama kumbang kotoran?
Untungnya, dua pria di meja sebelah tidak menyadari sikap tidak sopan Mandalika.
Mereka terus bercakap-cakap.
Si pria yang diajak bicara menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan. “Kau tahu sendiri jarak tempat ini dengan Purasabha. Bahkan dengan kuda paling cepat yang kita miliki sekalipun, belum tentu Ki Kutis bisa pergi bolak-balik dengan cepat. Kalau menurut perkiraanku, mungkin kemarin ini Ki Kutis baru sampai di Purasabha. Kalau tidak ada halangan, mungkin hari ini baru bisa bertemu Gusti Prabu. Itu juga kalau Gusti Prabu ada di tempat dan berkenan menemuinya.”
Mandalika mendengarkan dengan cermat. Saat rawon pesanannya datang bersama sekendi air, dia mengucapkan terima kasih singkat dan memberikan uangnya, lalu makan sambil mendengarkan.
“Purasabha itu … jauh, ya, Kang?”
“Tentu saja. Lagi pula, memangnya kenapa tempat ini dinamakan Paminggir? Karena kita berada di tepi yang jauh dari Purasabha!”
“Iya juga, ya.” Si pria yang dari tadi bertanya manggut-manggut. Pria itu duduk memunggungi Mandalika, sehingga Mandalika tidak dapat melihat raut mukanya.
Temannya mendengkus. “Iyalah!” sergahnya. “Sudah, sudah, ayo cepat makan dan balik ke sawah. Bisa-bisa Ki Hulu Banyu mengomeli kita kalau terlambat datang.”
“Ah, Kang Letong—”
Kali ini Mandalika yang sedang mengunyah daging rawon tak sengaja menelan daging itu bulat-bulat. Dia tersedak dan batuk-batuk, membuat dua pria di meja sebelah menoleh ke arahnya dengan heran.
“Kenapa, Den?” tanya salah satu dari mereka.