Begitu melihat Mandalika kini berada di depannya, pria itu membalik badan dan bermaksud lari ke arah sebaliknya. Tangan Mandalika dengan cepat terulur, memegangi pundaknya dan menahannya tetap di tempat.
Pria itu kelihatan seperti pria tua biasa. Tubuhnya kurus dan tampak tidak bertenaga. Namun, saat Mandalika mencengkeram pundaknya, pemuda itu dapat merasakan perbedaan yang mencolok. Dan benar saja, pria tua itu berputar dengan cepat, satu tangannya menangkap tangan Mandalika, memutarnya.
Terkejut, Mandalika segera melepaskan diri dari cekalan pria itu. Jika dia sedikit lebih lambat, tentu tangannya sudah dipelintir oleh pria itu hingga sendinya lepas.
Begitu Mandalika melepaskan cengkeramannya dan mundur beberapa langkah, pria itu berbalik dan melompat ke cabang pohon terdekat sebelum melenting lagi dan lenyap dari pandangan.
Mandalika masih berdiri di tempat, memandangi arah kepergian pria itu. Alisnya mengerut. Tadi dia melihat sebuah rajah di tengkuk si pria asing. Rajah itu kecil, bergambar matahari dengan delapan sinar. Dia pernah melihat rajah seperti itu sewaktu dia kecil. Dulu sekali, saat Mandalika masih memiliki keluarganya bersamanya.
“Sebenarnya kau terlibat apa, Bocah?” gumam Mandalika begitu lirih, nyaris seperti bisikan. Dia menoleh ke arah rumah Surasena yang suwung, kemudian membuang napas.
Matahari sebentar lagi mencapai puncaknya di langit. Mandalika memutuskan untuk pergi ke warung terdekat. Dia masih kenyang, sebenarnya, tetapi dia perlu mendapatkan keterangan dari penduduk desa.
Mandalika hanya memesan singkong rebus dan air putih di warung. Seolah sambil lalu, dia bertanya kepada pemilik warung tentang apa yang terjadi dengan rumah besar di ujung jalan sehingga begitu porak-poranda.
“Raden baru di sini?” tanya pemilik warung, seorang ibu berbadan gemuk dengan muka bundar dan raut ramah serta murah senyum.
“Benar, Nyai. Saya baru datang pagi tadi,” jawab Mandalika jujur. “Sebenarnya saya dari Wanua Muncar,” imbuhnya.
Ibu Warung menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Hhhhhh, ini tragedi,” ujarnya, duduk di bangku panjang yang ada di dekat Mandalika sambil menggenggam serbet.
“Yang Raden lihat itu rumah Rakarayan. Beliau orang yang sangat baik dan selalu ringan tangan membantu kami. Beliau sudah empat belas warsa melindungi kami di Paminggir ini. Siapa sangka, beberapa malam lalu orang-orang Śabara tiba-tiba saja menyerang. Anehnya, mereka—orang-orang Śabara itu—hanya menyerang kediaman Rakarayan. Seluruh penghuni di kediaman itu ditumpas habis. Semua prajurit dan pembantu tak ada yang tersisa. Dan entah ajian apa yang mereka miliki, malam itu tak ada satu penduduk pun yang tahu.
“Saya sendiri seperti kena sirep malam itu, sangat mengantuk sejak sore dan tidak bangun barang sekali pun sampai pagi. Pagi itu menjadi pagi yang penuh kengerian bagi kami semua. Betapa tidak? Tanpa tahu apa-apa, pagi itu kami mendapati rumah Rakarayan sudah seperti lapangan bekas pembantaian. Mayat bergelimpangan dan darah di mana-mana.”
Mandalika mendengarkan dengan saksama ketika Ibu Warung bercerita. Dia tidak menyela. Sementara itu, Ibu Warung mulai terisak.