Mandalika berhenti karena terkejut. Matanya mengikuti gerakan sebuah cawan yang menggelinding agak jauh.
“Ah!”
Seseorang memekik, membuat Mandalika seketika menoleh ke kiri.
Seorang pria berpakaian compang-camping bergerak cepat mengejar cawan yang menggelinding, sementara Mandalika hanya tercengang melihatnya. Pemuda itu lebih terkejut lagi ketika melihat sebuah kereta kuda melaju dari arah depan.
Kusir kereta itu tidak mungkin tidak melihat seorang pria sedang membungkuk untuk memungut sesuatu di jalan, tetapi si kusir tidak memperlambat laju kudanya. Alih-alih, wajahnya mengesankan sikap acuh tak acuh. Seolah-olah jika kereta kuda yang dikendalikannya menabrak si pria berpakaian compang-camping, itu adalah kesalahan si pria sendiri.
Sikap kusir itu membuat Mandalika yang baru saja mengenang masa lalu buruknya jadi muak. Tanpa pikir panjang, Mandalika memungut kerikil di dekat kakinya dan menyentilkan kerikil itu ke kening si kusir.
Kusir mengaduh, bersamaan dengan itu tangannya menarik kekang kuda. Kuda penarik kereta meringkik keras karena terkejut, kedua kaki depannya terangkat tinggi. Si kusir berusaha mengendalikan, tetapi keadaan malah makin buruk. Kereta kuda itu terguling dengan sangat tidak bermartabat.
Mandalika tertawa, puas sudah memberi pelajaran kepada kusir sombong itu. Sementara, si pria berpakaian compang-camping yang tampaknya seorang pengemis hanya berdiri sambil memeluk cawannya. Dia sepertinya tidak memahami apa yang barusan terjadi, selain bahwa tiba-tiba di depannya ada kereta kuda yang terguling. Mandalika mendekati pria itu dan menepuk pundaknya. “Tidak apa-apa, Ki?” tanya pemuda itu.
Si pengemis menoleh menatap Mandalika. “Ah?” serunya, lalu mengisyaratkan dengan tangan bahwa dia tidak bisa mendengar dan tidak bisa bicara.
Hati Mandalika seketika melembut. Dia menarik pria itu ke tepi dan tersenyum. Diberikannya dua singkong rebus yang tadi dia bawa dari warung kepada pria itu.
“Kurang ajar! Kau yang membuat keretaku terguling?”
Sebuah tudingan keras membuat Mandalika menoleh. Tawanya tak tertahankan ketika melihat sosok pemuda angkuh yang pagi tadi ditemuinya.
“Ternyata Tuan Muda,” celetuk Mandalika. “Menarik sekali, ya? Baru kemarin Rakai Paminggir meninggal, hari ini sudah ada bocah ingusan yang berlagak seperti penguasa.”