Berbelok, si pria Rawikara kini melintasi hamparan sawah di luar Paminggir, dan terus bergerak memasuki hutan. Dia mendekati sebuah pohon, melompat naik ke salah satu cabangnya. Kemudian, dikeluarkannya lembar rontal dari balik kain baju dan sebuah pengutik yang terselip di sabuk kain.
Dia menuliskan pesan singkat di rontal itu menggunakan pengutik. Tentu saja pesan itu tidak berbunyi sebagaimana mestinya, melainkan memakai sandi yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu. Sehingga, jika sesuatu terjadi dan rontal tidak sampai kepada orang yang dituju, berita rahasia yang dibawa tidak akan bocor.
Selesai menulis, rontal dia gulung dan ikat dengan tali dari serat rami. Pada batang pohon di dekat cabang tempatnya duduk terdapat sebuah lubang. Pria itu menjulurkan tangan ke lubang dan saat menariknya kembali, di tangannya sudah tergenggam seekor dara.
Gulungan rontal dia ikat ke kaki si burung dara, kemudian dia masukkan dara itu ke balik bajunya. Dia memanjat hingga ke puncak pohon, dan dari sana melepaskan si burung dara yang langsung mengembangkan sayap dan terbang ke timur.
Pak, pak, pak.
Si burung dara terus mengepakkan sayap. Sesekali, saat terdapat gelombang udara panas, si burung melompat ke gelombang itu dan berhenti mengepak, membiarkan gelombang panas dari bumi mengangkat tubuhnya seraya mengistirahatkan sayap, sebelum kembali melompat dan mengepak untuk mengendarai gelombang panas yang lain.
Dengan mengendarai satu gelombang panas ke gelombang panas yang lain, si burung dara akan bisa menghemat tenaga untuk perjalanan jauh.
Melewati hamparan sawah, desa, sungai, juga hutan, si burung dara terus terbang ke timur.
Matahari makin condong ke barat, langit yang semula terang kini menggelap. Gelombang panas pun makin sedikit dan kini si burung dara mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk terbang.
Si pria dengan banyak wajah turun dari pohon. Dia pergi menelusuri jejak pemuda yang tadi memergokinya di rumah Rakai Paminggir. Perasaannya mengatakan pemuda itu tahu sesuatu. Dari penampilannya, pemuda itu tampak bukan penduduk asli Paminggir. Dia datang memeriksa kediaman Rakai Paminggir dan bertanya-tanya tentang Rakarayan di warung. Pasti pemuda itu sedang mencari berita. Entah untuk apa dan siapa. Oleh karena itu, dia harus menyelidiki.
“Ki Sani, dari mana?”
Seorang warga menyapa. Pria itu berhenti melangkah. Senyum lebar terbit di wajahnya sebelum tubuhnya berbalik, sedikit membungkuk.
“Baru pulang menengok padi di sawah. Raden Soca sendiri dari mana atau mau ke mana?” tanya pria itu teramat ramah dengan suara serak khas pria tua.
Pemuda yang dipanggil Raden Soca membalas senyumnya. Dia berjalan mendekat sambil berkata, “Dari rumah Pu Teja, mau pulang. Mari, Ki.” Pemuda itu menyilakan pria tua di sampingnya agar berjalan beriringan bersamanya.
“Saya dengar Jati dipermalukan tadi,” kata Soca sedikit tertawa geli. “Dia dan keroconya dibuat babak belur oleh seorang pemuda asing. Kejadiannya di jalan tidak jauh dari sini. Ki Sani lihat?”