MUDRA

Mega Yohana
Chapter #19

Ditemukan

Surasena masih tidur, hari juga masih gelap, tetapi Mandalika sudah bangun dan meributkan bebatan Surasena.

“Kalau tidak bisa, tidak perlu berlagak!” omel pemuda itu. “Lihat, kau membuat jahitan lukamu bertambah buruk. Memangnya kau tidak ingin cepat sembuh? Mau cacat terus?”

Surasena diam seribu bahasa sementara Mandalika mengganti bebat sambil terus mengomel.

Bagaimana Mandalika tidak mengomel? Surasena membebat jahitan lukanya secara asal-asalan. Bocah itu bahkan tidak memberi kapas sebagai penghalang antara kulit dan kain bebat, sehingga kain bebat yang kasar bergesekan dengan lukanya dan sekarang bekas robekan yang belum sepenuhnya kering itu kembali memerah.

Meski tidak berdarah, tetap saja mengkhawatirkan. Gurunya sudah susah-susah menyatukan kulit perut Surasena yang robek, malah bocah ini sendiri yang sembrono. Memangnya dia sudah tidak sayang nyawa, apa? Padahal keluarganya sudah mati semua, orang yang biasa menjaganya juga sudah mati demi melindunginya. Apa dia mau mereka mati sia-sia? Dasar bocah tidak tahu diuntung!

Alis Mandalika tertaut dan raut mukanya menampakkan bahwa pemuda itu sangat kesal. Sementara itu, Surasena hanya bisa menunduk sembari membisikkan permintaan maaf. Dia pikir dia membebat sendiri lukanya karena tidak ingin merepotkan. Mana dia tahu kalau hasilnya malah sebaliknya.

“Sudah!”

Ucapan Mandalika yang tiba-tiba dan lebih menyerupai bentakan mengejutkan Surasena. Rupanya dia sudah selesai mengganti bebat dan membebatnya lagi dengan benar.

“Diam di sini, jangan ke mana-mana!” perintahnya yang langsung membuat Surasena menciut.

Mandalika pergi ke kandang. Di kandang ada beberapa butir telur ayam, Mandalika mengambilnya untuk direbus. Telur ayam bagus untuk mempercepat penyembuhan luka.

Surasena yang takut akan kemarahan Mandalika dan mengingat keadaannya yang juga belum bisa bergerak dengan leluasa, mau tak mau menurut saja. Lagi pula sekarang masih gelap, memangnya apa yang bisa dia lakukan? Dia duduk tenang di amben sambil bersandar. Matanya memandangi nyala api damar di meja.

Gerak api damar menghanyutkan Surasena ke dalam lamunan. Beberapa hari ini hidupnya benar-benar jungkir balik. Dia yang selalu hidup dengan aman—meski anak-anak seusianya suka menjahili, mereka tidak akan benar-benar berani menyakitinya—dan dalam perlindungan, tiba-tiba saja kini menjadi pelarian. Dia yang tidak pernah terlibat dalam perkelahian, mendadak terjebak dalam sebuah perburuan. Dia yang selalu dikelilingi oleh orang-orang terdekatnya, kini berada di tempat asing bersama orang asing.

Rasanya, semua hal yang diketahui Surasena selama ini seperti sebuah mimpi indah, dan begitu terbangun dia dihadapkan pada kenyataan yang menyedihkan. Tak ada lagi ayah atau kakak atau penjaga yang tersenyum kepadanya dan mengatakan hal-hal yang menenangkan untuknya. Semua begitu tiba-tiba, dan Surasena seperti anak bodoh yang tidak tahu apa-apa.

Seperti sebuah kebiasaan, tangan Surasena bergerak memegangi bandul kalungnya. Nyala api damar yang bergerak-gerak membuat kelopak mata pemuda belia itu terasa kian berat. Perlahan dia hanyut ke alam mimpi.

Mimpi Surasena menghadirkan kembali malam berdarah di rumahnya. Di dalam mimpi, dia melihat ayah dan kedua kakaknya dibantai di depan mata. Dia ingin mencegah, tetapi kedua tangannya dicengkeram erat. Sia-sia saja Surasena meronta. Ketika salah satu dari pembantai itu mendekati Surasena dan menjulurkan tangan hendak merampas kalungnya, Surasena tersentak bangun.

Mandalika terkejut saat bocah yang dia bangunkan tiba-tiba tersentak dan membuka mata lebar-lebar. “Mimpi buruk?” tanya Mandalika agak canggung sembari mengangkat tangannya dari pundak Surasena.

Surasena mengangguk. Jantungnya masih berdegup kencang.

Mandalika mengangsurkan kendi. “Minumlah dulu.”

Lihat selengkapnya