Rakryan Mapatih Pu Manik Mirah duduk setengah berbaring di palinggihan. Dia terlihat begitu santai menyantap buah-buahan yang tersaji di sampingnya.
Di ruangan yang sama, orang paling dihormati di seluruh Suranagara berdiri tegak di dekat jendela dengan kedua tangan bersedekap. Sinar matahari yang menerobos di celah ukiran jendela menimpa wajahnya, berwarna keemasan seperti cahaya surgawi. Raut muka orang itu terlihat begitu serius, matanya yang tajam menerobos celah ukiran jendela dan menatap jauh ke depan. Entah apa yang dia lihat.
“Bukankah kau seharusnya tidak bermalas-malasan?” Setelah sekian lama membisu, pria itu memutar tubuh menghadap Manik Mirah dan menurunkan tangannya.
“Tidak perlu cemas. Sebentar lagi juga datang.”
Manik Mirah melahap potongan terakhir pisangnya dan membuang kulit pisang dengan serampangan. “Bagaimana kalau Gusti Prabu duduk dulu di sini?” tawarnya seraya menepuk tempat duduk di sampingnya.
Pria yang berdiri di dekat jendela, Nararya Jayakarana Sri Maharaja Rakai Panangkan Sri Girindra Pinakottunggadewa, berdecak setengah tak percaya. Dia adalah Maharaja yang Agung, penguasa Suranagara yang disegani di Kanakadwipa dan diakui oleh negara-negara Mitreka Satatā1. Namun, tampaknya gelar kebesarannya itu tak berpengaruh apa-apa di mata Manik Mirah.
“Kau memanggilku ‘Gusti Prabu’, tapi sama sekali tidak menunjukkan sikap hormat,” cela Nararya Jayakarana. Dia berjalan mendekat, mengambil kulit pisang di lantai dan memasukkannya dengan benar ke tempat sampah. “Makin lama kau tampaknya makin tak bisa diatur!”
Manik Mirah tertawa. Nararya Jayakarana memelototinya.
“Kangmas,” Manik Mirah memperbaiki sikap duduknya dengan senyum jail masih tersisa, “kalau ada yang melihatmu mengambil kulit pisang di lantai, pasti mereka akan ketakutan. Dikiranya raja mereka sudah turun pangkat jadi batur.”
Nararya Jayakarana mendengkus. “Kalau ada yang melihatmu bersikap kurang ajar begini, mereka pasti sudah membuat prārthana2 agar kau digantung di alun-alun!” cercanya, yang dibalas gelak tawa oleh Manik Mirah.
Raja Suranagara itu baru akan memarahi adik angkatnya lagi ketika seekor dara meluncur masuk dari lubang di dinding atas. Si burung dara mendarat di pakagan3 tak berpintu yang terdapat di sudut ruangan.
Manik Mirah membiarkan burung itu makan dan minum sejenak. “Lihat,” katanya, “itu kabar yang Kangmas tunggu-tunggu dari tadi.”
“Lalu? Ambil sana!” perintah Nararya Jayakarana gusar.
“Hhhhhh.” Manik Mirah mengembuskan napas berpura-pura pasrah sebelum bangkit dan mendekati si burung dara. Diraihnya burung itu dan diambilnya gulungan rontal yang terikat di kaki si burung dara. Dia membuka surat itu, alisnya tertaut setelah membaca isi surat.
“Apa?” Perubahan raut muka adik angkatnya membuat Nararya Jayakarana cemas. Raja muda itu mendekat dan meraih surat telik sandi di tangan Manik Mirah, membaca sendiri isinya.
“Aku akan berangkat sekarang juga,” kata Manik Mirah.
Nararya Jayakarana menatapnya, mencoba mencari canda di wajah Manik Mirah. Namun, yang dia dapati hanyalah sorot mata penuh kesungguhan.
“Kau yakin? Itu tempat yang jauh. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.”
“Kangmas, ini menyangkut masa depan Suranagara, masa depan seluruh Kanakadwipa.”
“Tapi—”
Manik Mirah bertepuk tangan satu kali, menghentikan apa pun yang hendak dikatakan oleh kakak angkatnya. “Sebaiknya aku bersiap-siap sekarang,” ujarnya seraya menuju bilik.
“Hei, dengar dul—” Ucapan Nararya Jayakarana terhenti lantaran Manik Mirah sudah menutup pintu bilik. “Cih, dasar. Tengok dulu keponakanmu sebelum pergi! Dia menanyakanmu terus dari kemarin!” teriaknya.
“Tidak mau!” sahut Manik Mirah dari balik pintu bilik. “Bocah nakal itu merepotkan sekali.”