MUDRA

Mega Yohana
Chapter #21

Hyang Acaraki

Nun jauh di ujung Suranagara, Pu Walen berdiri diam di tepi hutan.

Hutan itu begitu gelap dan rimbun. Kabut pekat menyelimutinya. Ditambah dengan udara dingin yang berembus dari dalam hutan, membuat kesan wingit kian terasa.

Tidak ada orang di Suranagara yang berani mendekati tempat itu, sebab begitu wingitnya hutan purwa itu. Jangankan mendekat, mendengar namanya saja sudah membuat bulu kuduk meremang.

Alas Kalimutan membentang di kaki Gunung Wungar, begitu purwa dengan pohon- pohon mahabesar berusia ratusan, bahkan ribuan warsa. Ini adalah batas yang memisahkan Suranagara dan Śabara.

Tidak ada orang di Suranagara yang benar-benar tahu bagaimana keadaan di Śabara selain bahwa mereka memiliki kelompok pemburu ulung yang disebut Pāṇīndriya, yang memakai baju merah dengan muka coreng-moreng dan bersenjata pedang bulan sabit. Hanya itu yang orang-orang Suranagara umumnya tahu.

Tidak banyak yang tahu bahwa Pāṇīndriya bukan sekadar kelompok pemburu, tetapi jumlah mereka pun terbatas. Juga, tidak semua orang bisa menjadi Pāṇīndriya. Mereka harus melewati serangkaian ujian dan memiliki ukuran dasar tertentu.

Maka, ketika tersiar kabar bahwa para pemburu dari Śabara—dalam jumlah banyak—telah dikerahkan untuk membantai Rakai Paminggir dan memburu anaknya yang lolos, Pu Walen sudah curiga.

“Buyar!” Pu Walen berseru sembari mengibaskan lengan. Seketika kabut pekat yang menyelimuti Alas Kalimutan tersibak, menampakkan sebuah jalan setapak kecil.

Jalan setapak itu hampir tak terlihat sebagai jalan setapak saking hampir tidak pernah dilewati. Rumput-rumput tumbuh di sana, meski tidak begitu tinggi. Dedaunan kering juga menutupi tanah pada jalur itu. Hanya orang yang benar-benar mengenali Alas Kalimutan yang akan bisa membedakan dan mengetahui bahwa itu adalah sebuah jalan setapak.

Setelah kabut tersibak, Pu Walen melangkah perlahan memasuki hutan. Makin jauh dia melangkah, kabut di belakangnya kembali menutup, menyatu menyelimuti hutan.

Para kala dan binatang berbisa penghuni hutan menyingkir. Mereka mundur jauh dari jalan setapak, bersembunyi di liang mereka atau di balik dedaunan dan semak-semak. Berbagai jenis ular yang banyak melata kini merambat menjauh, menghindari satu-satunya orang yang kini sedang berjalan kian dalam ke jantung hutan.

Pu Walen sendiri tampak tidak terusik oleh gerak kabut yang ganjil atau kersik binatang-binatang berbisa yang menyingkir. Langkahnya mantap.

Jika orang biasa yang memasuki Alas Kalimutan, jangankan mencapai kaki Gunung Wungar, mereka mungkin hanya mampu berputar-putar tanpa arah di dalam hutan berkabut yang menyesatkan. Atau, malah mati duluan oleh binatang berbiasa yang jumlahnya tak terkira.

Sebaliknya, bagi Pu Walen, jalan menuju jantung hutan sangat terang dan kerimbunan pohon maupun pekatnya kabut sama sekali tak menyesatkan. Dia mencapai kaki Gunung Wungar dalam sepenanak nasi.

Gunung Wungar berbeda dari gunung lain di Kanakadwipa. Jika gunung-gunung lain landai di bawah dan mengerucut pada puncaknya, Gunung Wungar tegak menjulang.

Daripada sebuah gunung kerucut, Gunung Wungar lebih menyerupai pasak raksasa yang ditancapkan ke bumi. Dinding tebingnya tegak berbatu-batu sehingga sedikit sekali tanaman yang bisa tumbuh di tebingnya.

Ada dua puncak utama di Gunung Wungar, masing-masing disebut Swetaśikhara dan Raktaśikhara, mewakili nama dua petapa yang konon bertapa di sini. Di antara kedua puncak tersebut terdapat Kawah Garbha Dumilah yang merupakan tempat Raktakumuda menempa rājamudra.

Ah, rājamudra.

Lihat selengkapnya