Mereka duduk berhadapan.
Satu berkulit pucat. Rambut sehitam jelaga dibiarkan tergerai sepunggung. Alisnya yang tebal juga berwarna hitam pekat. Matanya sekelam malam, kini tampak berkaca-kaca. Bibirnya bergetar seolah-olah ingin mengatakan banyak hal sekaligus menahan diri untuk bicara.
Satu lagi berkulit lebih pucat dengan rambut dan alis sewarna perak. Mata kelabunya bersinar lembut, dan bibirnya menyunggingkan senyum.
Mereka begitu berbeda, sekaligus serupa.
Di bawah nyala damar yang menggantung di langit-langit, wajah mereka tampak bagai pinang dibelah dua, sama persis.
Kartika Wulung dan Kartika Salaka, begitulah mereka dikenal saat masih muda.
Bintang kembar dari Gunung Wungar.
Mereka adalah anak-anak yang diberkati Dewa dan dianugerahi wintang anubhāwa1, anak-anak yang diasuh dan dibina langsung oleh Mahāpaṇḍita2 untuk menjaga Gunung Wungar, menjaga Gapura Siddhi di Kawah Garbha Dumilah.
Mereka yang kemudian menyandang gelar Sang Narottama dan Hyang Acaraki. Satu sebagai pelindung utama yang memimpin seluruh Śabara, satu sebagai pendamping sekaligus penyembuh, ahli pengobatan dan tumbuh-tumbuhan.
Keduanya mewarisi kuasa magis dari leluhur Śabara.
“Sudah empat belas warsa.” Kartika Wulung mendesah, suaranya sedikit bergetar. “Kukira aku tak akan melihatmu lagi.”
Kartika Salaka tersenyum. “Sudah kubilang aku akan kembali saat menemukannya.”
Dia memang berkata demikian. Itu adalah janji yang dia ucapkan sebelum meninggalkan Śabara empat belas warsa silam.
Saat itu menjelang tengah malam. Mereka berada di puncak Swetaśikhara.
“Bintang-bintang telah mengabarkan,” kata Kartika Wulung saat itu.
Jubah hitam yang membungkus tubuhnya ditambah rambut yang sekelam malam membuat dirinya tersamar dalam kegelapan. Usianya baru dua puluh lima warsa, parasnya juga begitu cemerlang. Namun, pembawaannya membuat pemuda itu tampak seperti pria tua yang bijaksana. Di sampingnya, dengan jubah putih dan rambut perak, Kartika Salaka bagaikan candrakānta3 yang berkilauan di tengah malam.
Mereka bersisihan, satu duduk dan satu berdiri. Satu mendongak ke langit penuh bintang dan satu menunduk ke arah Kawah Garbha Dumilah yang menyala-nyala.
“Apa yang dikatakannya?” tanya Kartika Salaka tanpa mengalihkan perhatian dari kawah. Lahar di kawah itu terlihat meletup sesekali. Sesekali juga terlihat kilat berkeletak-keletak seolah-olah hendak membuka celah di kawah itu.
Alis Salaka tertaut. Setelah berabad-abad lamanya, Gapura Siddhi terlihat makin lemah. Terkadang kilat yang berkeletak di sana cukup besar hingga membuat retakan dan makhluk di baliknya yang cukup mampu melewati celah akan menerobos keluar.
Seperti saat ini.
Sesosok makhluk menyerupai manusia bertubuh sangat kurus, berkulit pucat keriput, mata bulat yang begitu besar, dan bertanduk, melompat keluar dari celah dan hinggap di tebing terdekat sebelum retakan kembali menutup. Makhluk itu merangkak-setengah-berlari dengan tangan dan kakinya.
Tak sampai jauh, sesosok wīrataruṇa4 berpakaian merah dengan muka coreng-moreng putih-merah dan senjata pedang bulan sabit mengadang.
Si makhluk mendesis, memperlihatkan gigi-gigi runcing.
Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka.