Kartika Wulung menggerakkan tangan kanannya. Sekuntum teratai putih muncul di telapak tangan pria itu. Dia membisikkan sesuatu ke bunga teratai dan meniup. Si bunga melayang, pergi untuk menyampaikan pesan.
“Empat belas warsa berlalu dan sekarang kau mampu mengirim pesan dengan mantra teratai putih,” Salaka memuji saudaranya.
“Kau sendiri sudah mempersiapkan śiṣya,” balas Sang Narottama.
Mereka saling pandang, lalu sama-sama tertawa. Sembari menunggu, dua kakak-adiky ang telah lama berpisah itu membicarakan banyak hal. Untuk melepas rindu, untuk bertukar cerita dan pengalaman.
Sementara itu di gua yang gelap di dekat air terjun lereng Gunung Bakung, Surasena menggigit bibir bawahnya. Perutnya sakit, perih karena luka sekaligus karena lapar. Dia hanya makan sedikit pagi tadi karena merasa tidak begitu berselera setelah mendapatkan mimpi buruk. Jika tahu mereka harus bersembunyi begini, pasti dia sudah makan banyak pagi tadi.
Sekarang sudah malam. Sangat gelap di sini. Mereka tidak bisa keluar karena para pemburu masih berkeliaran di luar. Dia sendiri tidak berani mengatakan apa pun, takut mengusik Mandalika. Sejak menudingnya tentang para pemburu yang masih saja mengejar, Mandalika tidak mengatakan apa pun lagi.
Surasena ingin mengaku sebenarnya. Bahwa, ya, dia tahu apa yang dicari pemburu itu. Namun, dia masih ragu-ragu. Dia baru beberapa hari mengenal Mandalika dan Pu Walen. Sekalipun mereka memperlakukannya dengan baik, Surasena tidak bisa begitu saja percaya. Ramanya selalu mewanti-wanti agar berhati-hati. Terlebih jika menyangkut rahasianya.
Satu kesalahan dan bencana akan datang, begitu ramanya selalu berkata.
Surasena sudah melakukan kesalahan itu, beberapa waktu lalu ketika dia tidak bisa menahan diri saat Jati dan keroco-keroconya bertindak keterlaluan. Jika hanya menghina Surasena karena hampir tidak pernah berkumpul dengan para pemuda lainnya dan cenderung memisahkan diri, Surasena masih bisa tahan. Dia malah tidak peduli dengan omongan mereka, karena baginya yang terpenting adalah tidak menarik perhatian para telik sandi yang kata ramanya akan selalu ada dan tersebar di setiap sudut Suranagara. Namun, kali itu Jati sungguh keterlaluan. Dia menghina ibu Surasena, ibu yang tak pernah Surasena temui.
Saat itu Ki Dama sedang tidak bersama Surasena karena mendapat tugas dari ramanya. Surasena sendiri tidak suka dikawal jika tidak ada Ki Dama, jadi dia menyelinap dari pengawasan pengawalnya dan pergi ke sungai seorang diri. Di situ dia berjumpa dengan Jati.
Surasena sangat marah kepada Jati dan tanpa sadar membangunkan kekuatan yang selama ini dia sembunyikan. Bandul kalungnya menyala, dan ikan-ikan di sungai berlompatan menyerang Jati dan kawan- kawannya. Begitu pula dengan burung-burung yang berada di sekitar situ.
Jati dan kawan-kawannya lari terbirit-birit, mengira penunggu sungai marah karena dia membuat keributan. Mereka bercerita kepada penduduk Paminggir dan cerita menyeramkan tentang penunggu sungai pun menyebar.
Surasena merasa sangat puas saat itu, tak menyadari bahwa mungkin pada saat itulah rahasianya telah diketahui. Karena tak sampai tiga hari berlalu, bencana benar-benar terjadi.
Sekarang Surasena sungguh menyesalinya. Dia menyesal tidak bisa menahan diri saat itu. Jika saja dia bisa sedikit lebih bersabar, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
“Kita tidak bisa begitu saja percaya kepada siapa pun. Kau harus menimbang betul-betul sebelum membukanya. Sebab, banyak sekali orang di dunia ini yang menginginkan apa yang kaumiliki untuk tujuan yang tidak benar-benar bersih. Ingatlah, orang yang tersenyum padamu belum tentu temanmu.”
Begitulah pesan ramanya yang selalu Surasena ingat. Terlebih sekarang ramanya, kakaknya, Ki Dama, dan semua orang yang melindunginya sudah tiada. Dia harus lebih berhati-hati menjaga diri.
“Aku akan melihat ke luar,” ucap Mandalika lirih, begitu tiba-tiba hingga mengejutkan Surasena.
“Um,” jawab Surasena. Dalam gelap dilihatnya pemuda itu menyelinap di antara semak-semak di pintu gua sebelum benar-benar menghilang dari pandangan.