“Apa ini?” tanya Mandalika. Dia sudah curiga ketika beberapa kali memergoki gurunya diam-diam menatap bandul kalung Surasena dengan penuh arti.
Gurunya pasti tahu sesuatu, atau setidaknya mencurigai sesuatu. Terlebih gurunya pergi pagi ini tanpa alasan yang jelas dan hanya mewanti-wanti agar dirinya menjaga Surasena apa pun yang terjadi.
Mandalika begitu mengenal gurunya. Tujuh warsa hidup bersama Pu Walen membuat pemuda itu mengetahui bagaimana keseharian sang guru. Pu Walen pergi tiba-tiba seperti ini—padahal baru beberapa hari lalu turun gunung—pasti karena sesuatu. Dan, sesuatu itu … sangat mungkin berhubungan dengan kemunculan Surasena.
Atau kalungnya, jika Mandalika berani menebak.
Surasena begitu terkejut melihat bandul kalungnya kini berada di tangan Mandalika. Dia segera bangkit dan mencoba merebutnya kembali, tetapi dengan mudah Mandalika berkelit. Pemuda itu mendorong dada Surasena dengan tongkatnya.
“Apa ini semacam tanda kebangsawanan? Apa kau berkerabat dengan Prabu Jayakarana?”
“Kembalikan!” gertak Surasena. Dia menyisih dari ujung tongkat Mandalika dan kembali mencoba merebut bandul kalungnya.
Mandalika tanpa beban terus menangkis tangan Surasena dan mendorongnya mundur.
Surasena mengatupkan rahang. “Kembalikan!” geramnya lebih keras.
“Atau apa?” tuntut Mandalika. “Kau tidak marah saat keluargamu dibunuh, tetapi menjadi gila saat benda ini diambil? Apa benda ini lebih berharga daripada keluargam—”
“KALAU IYA MEMANGNYA KENAPA?!” Surasena meraung. Beberapa burung terbang karena terkejut mendengar raungannya.
Seharusnya Surasena waswas jika raungannya didengar oleh para pemburu yang mengejar. Namun, saat ini dia tidak peduli. Matanya panas dan berair. Lehernya serasa tersekat. Dadanya begitu sesak.
“Kalau iya memangnya kenapa?” Surasena bertanya lagi, kali ini dengan lirih. Dia jatuh berlutut. Napasnya memburu, jantungnya berdetak sangat cepat. Raut mukanya meluapkan kesedihan, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum.
“Aku sudah membuat mereka mati. Aku mengorbankan mereka untuk keselamatanku sendiri. Untuk benda itu. Memangnya kenapa kalau benda itu lebih berharga daripada mereka?”
Surasena membenci ini. Dia tidak pernah menangis sekalipun sering diejek lemah. Dia tidak menangis meski orang-orang terdekatnya terbunuh dengan keji. Dia bisa menahannya. Dia pikir dia bisa menahan kepedihannya. Agar tidak ada malapetaka yang lebih besar.
Surasena sudah belajar dari pengalaman. Akibat tidak bisa menahan diri, seluruh orang yang dia pedulikan mengalami kematian. Jika sekarang dia tidak bisa bertahan, malapetaka yang lebih besar pasti akan datang.