MUDRA

Mega Yohana
Chapter #27

Nilacitra

Saat membuka mata, Mandalika mendapati dirinya terbaring di ranjang sebuah rumah. Rumah ini terasa tidak asing, tetapi benak Mandalika masih berkabut, sulit untuk mengingat. Kepalanya serasa ditusuk ribuan jarum dan dia bangkit dengan susah payah.

Mandalika menduga sekarang berada di rumah salah satu warga Wanua Muncar. Mungkin ada yang menemukannya pagi tadi saat mencari kayu bakar atau merumput di sekitar tempatnya bertarung melawan pemburu tadi malam.

Mengingat pemburu itu membuat Mandalika teringat Surasena. Pemuda itu lekas turun dari ranjang dan terhuyung-huyung menuju pintu. Mandalika tidak bisa kehilangan anak itu. Dia sudah berjanji kepada gurunya bahwa dia akan menjaga Surasena. Lagi pula, anak itu membuat Mandalika teringat mendiang adiknya. Jika masih hidup, mungkin adiknya seusia dengan Surasena sekarang.

Karena tubuhnya masih lemah ditambah pengaruh racun belum sepenuhnya menghilang, Mandalika jatuh dengan cukup keras. Bunyinya didengar oleh orang di luar ruangan yang segera masuk untuk memeriksa.

“Oh! Apa yang Raden lakukan?” Orang itu membantu Mandalika berdiri.

“Ki Sela?” sebut Mandalika, mengenali pria itu sebagai hulun deśa di Wanua Muncar.

Dia membiarkan Ki Sela menuntunnya kembali ke pembaringan.

“Raden masih lemah, beristirahatlah dulu. Saya akan menyuruh Kemuning untuk membawakan bubur dan ramuan.”

Ki Sela meninggalkan Mandalika. Tak lama, dia kembali bersama Kemuning. Gadis itu membawa meja baki dengan semangkuk bubur nasi, secawan ramuan obat, dan sekendi air.

Mandalika memperbaiki sikap duduknya di ranjang dan bersila agar Kemuning bisa meletakkan meja baki di depannya. Dia mengucapkan terima kasih dan tanpa sungkan langsung menenggak ramuan yang ada.

Pemuda itu sedikit mendesis dan menyipitkan mata karena rasa pahit dari ramuan, tetapi tak mengatakan apa pun.

Sebagai śiṣya Pu Walen, Mandalika cukup memahami tentang pengobatan. Bagaimanapun, dia sudah tujuh warsa mengikuti Pu Walen. Dia juga tahu bahwa ramuan ini tidak akan banyak membantu jika perutnya tidak terisi makanan. Jadi, setelah menghabiskan ramuannya, Mandalika segera memakan bubur yang telah disiapkan dan mendorong masuk bubur itu dengan dua teguk air minum setelah selesai makan.

Mandalika mengusap bibirnya dengan punggung tangan dan berterima kasih. Dia sungguh bersyukur telah ditolong. Namun, dia tidak bisa terus di sini. Dia harus segera pergi mencari Surasena. Jika dia cepat, mungkin dia bisa menemukan jejak pemburu itu. Makin lama di sini, bisa saja jejaknya menghilang.

Mandalika ingat pemburu itu juga mengambil bandul kalung Surasena. Tak salah lagi, pasti bandul kalung itu sangat istimewa.

Matahari bersinar delapan adalah lambang Suranagara, semua orang tahu itu. Namun, jika mereka begitu berhasrat untuk mendapatkannya, pasti bandul kalung anak itu bukan benda biasa.

Surasena juga begitu ketakutan sekaligus marah saat Mandalika merebut bandul itu darinya. Dia bahkan berteriak saat itu, yang secara ajaib mengundang ribuan kunang-kunang untuk mendekat.

“Mau ke mana, Raden?” panggil Ki Sela saat Mandalika turun dari ranjang dan bergegas ke pintu.

Lihat selengkapnya