Nilacitra membawa Agnibhaya, Mandalika, dan Sangka ke sebuah rumah yang terletak di Wanua Mulyar. Desa ini bersebelahan dengan Wanua Muncar dan masih bagian dari Kawatekan Paminggir. Selain itu, desa inilah yang paling dekat dari tempat mereka sekarang.
Setiba di rumah yang sebenarnya merupakan rumah peristirahatan khusus, Nilacitra memanggil seorang walyan untuk memeriksa dan merawat luka Mandalika.
Surasena memperhatikan saat walyan menangani Mandalika. Teringat sesuatu, dia mengedarkan pandangan, mencari pemburu yang tadi mengikuti mereka.
“Dia ada di ruang belakang,” terang Nilacitra. “Ada beberapa hal yang perlu saya tanyakan kepadanya, termasuk ke mana tangan kanan Juru Bapuh membawa rājamudra.”
“Tuan … tahu tentang rājamudra?” tanya Surasena. Dia sudah tidak lagi begitu terkejut mengetahui orang-orang asing datang dan mencari rājamudra. Dia hanya ingin tahu dari mana saja mereka dan apa yang sebenarnya mereka inginkan dari benda itu.
Nilacitra mengangguk. “Raden bisa memanggil saya Nilacitra. Dan, tentang rājamudra—”
“Tentu saja dia tahu. Kalau tidak, bagaimana dia bisa menemukanmu?” Sebuah suara menyambung dari arah belakang.
Surasena menoleh, mendapati seorang pria tengah tersenyum kepadanya. Di belakang pria itu, terdapat pria lain berwajah muram seperti mendung di pagi hari.
Melihat kedatangan pria itu, Nilacitra menjura dengan setengah membungkuk. “Gusti, selamat datang,” sapanya penuh hormat. Dia lalu merentangkan tangannya ke samping, mempersilakan pria itu menuju ruangan di sebelah.
“Mari, Gusti.”
Nilacitra mempersilakan sang tamu agung duduk di palinggihan. Dia sendiri tetap berdiri ngapurancang1 di depan sang Mapatih. Dengan runtut, diceritakannya semua yang terjadi dan semua yang dia ketahui.
Rakryan Mapatih Pu Manik Mirah duduk mendengarkan seraya menopang dagu dengan tangan kiri. Tangan kanannya menggenggam cawan berisi wedang jahe di meja. Di belakangnya, Sakhayu berdiri tegap tanpa suara.
“Jadi, dia adalah Watsi?” Pu Manik Mirah mengusap pinggiran cawan dengan jempol. Dia menyunggingkan senyum sebelum mengangkat cawan itu dan menyesap isinya.
Nilacitra mengangguk. “Ya, Gusti. Juru Bapuh adalah Watsi. Para pemburu itu palsu juga. Mereka adalah sekumpulan bramacorah dan pembunuh bayaran yang diupah oleh Watsi.”
“Hm.” Meskipun baru mengetahui, Manik Mirah tidak terlalu terkejut.
Watsi adalah salah satu Rawikara yang diduga terlibat dalam pemberontakan dan penyerangan di Panangkan empat belas warsa silam, tetapi berhasil menghindari hukuman atas dukungan Wreddhamantri Arya Angiri. Sejak saat itu keberadaannya tidak diketahui. Sebaliknya, nama Juru Bapuh cukup terkenal dalam satu dasawarsa terakhir.
Sebelum ini, Manik Mirah tidak terlalu menaruh perhatian kepada orang itu karena Juru Bapuh tidak pernah melakukan hal yang bersinggungan dengannya—atau Prabu Jayakarana. Namun, sekarang dengan kejadian ini dan kenyataan bahwa Juru Bapuh adalah Watsi, Manik Mirah menduga dia tahu siapa orang di belakang si tukang jagal.
“Bagaimana dengan yang lolos?”
“Dia pergi membawa rājamudra.”
“Kuduga kau tahu ke mana?”
Sekali lagi Nilacitra mengangguk. Dia sudah menanyai pemburu bayaran bernama Sangka itu.