Manik Mirah tersenyum pahit. Dia masih dua belas warsa pada saat itu, masih bocah bandel yang hanya tahu bermain dan merusuh serta membuat para batur dan pejabat Istana repot oleh ulahnya. Yang dia tahu, dulu Rakai Paminggir tinggal di Purasabhā.
Bernama asli Dyah Palisir, Rakai Paminggir masih bersepupu dengan Prabu Jayakarana dari garis ibu. Ayah Dyah Palisir adalah kakak tertua dari ibu Prabu Jayakarana. Sang prabu sendiri pada saat itu masih pangeran muda berusia empat belas warsa dan belum begitu mengerti tentang perselisihan yang terjadi di belakangnya. Perselisihan antara para pendukungnya dan mereka yang bermaksud menggulingkan kedudukannya sebagai yuwaraja.
Manik Mirah ingat, pada saat itu istri Dyah Palisir sedang hamil tua ketika tiba-tiba prabu ing usana mengeluarkan keputusan bahwa beliau telah menganugerahkan tanah di Paminggir kepada Dyah Palisir dan memerintahkan sang Dyah untuk segera berangkat ke Paminggir.
Waktu itu, Manik Mirah mengira Dyah Palisir telah menyinggung sang prabu, sehingga prabu ing usana menjauhkannya dari Purasabhā.
Dyah Palisir pun tak membuang waktu. Malam itu juga beliau beserta seluruh keluarga dan pengikutnya berangkat menuju Paminggir.
Berikutnya yang Manik Mirah tahu, istri Dyah Palisir meninggal dalam perjalanan saat melahirkan. Upacara pembakaran dilaksanakan di Śmaśāna, sebuah tempat pemakaman yang terletak di perbatasan antara Kawatekan Pasigyan dan Kawatekan Paminggir.
Sore hari sebelum keberangkatan Dyah Palisir, Manik Mirah dan Pangeran Jayakarana menyelinap keluar dari Istana. Mereka berjalan-jalan di kuṭarāja. Ini adalah salah satu kenakalan mereka, menyelinap keluar dari Istana dan membuat para batur cemas setengah mati tapi tak berani melapor kepada Gusti Prabu karena takut dihukum gara-gara tak becus mengawasi Manik Mirah dan Pangeran Jayakarana.
Berdua, Manik Mirah dan sang pangeran berkeliling hingga matahari terbenam dan baru menyelinap masuk saat hari benar-benar gelap. Tentu saja, mereka tidak langsung tidur setiba di Istana. Mereka naik ke atap dan bermain di sana—sebenarnya bersembunyi dari guru mereka— hingga ketiduran. Begitu terbangun karena kedinginan, malam sudah sangat larut. Saat itulah, Manik Mirah melihat wintang anular melintas di langit.
Manik Mirah segera membangunkan Pangeran Jayakarana yang tidur di sampingnya. Mereka bersama-sama melihat bintang itu dari atap.
Keesokan harinya, prabu ing usana menetapkan penanda warsa Wisik Pandhita Anjanma Rupa untuk mengingat peristiwa langka tersebut.
Hampir semua orang di Suranagara tahu apa artinya sebuah wintang anular. Itu adalah penanda bahwa hulun hyang telah lahir, bahwa rājamudra telah meninggalkan alam guhya dan kembali ke alam manusia. Dan, wintang anular itu jatuh di Panangkan.
Siapa yang ada di Panangkan?
Panangkan adalah tempat kedudukan Pangeran Jayakarana. Namun, pada saat itu sang pangeran masih muda. Pemerintahan di sana diwakilkan kepada Ki Juru Pangalasan. Sama seperti Dyah Palisir, istri Ki Juru Pangalasan juga sedang hamil tua.
Ki Juru Pangalasan sudah menjadi pelayan prabu ing usana ketika Manik Mirah pertama kali datang ke Purasabhā. Dia adalah orang yang setia dan selalu mendukung Gusti Prabu dan Pangeran Jayakarana. Oleh karena itu, ketika wintang anular jatuh di wilayah Panangkan, satu-satunya bayi di Panangkan yang diduga sebagai pembawa rājamudra adalah putra bungsu Ki Juru Pangalasan. Dan, benar saja. Beberapa hari berselang, terjadi pembantaian di rumah Ki Juru Pangalasan.
Banyak orang termasuk Manik Mirah sendiri yang saat itu juga masih bocah ingusan menduga bahwa pembantaian di rumah Ki Juru Pangalasan merupakan bentuk pemberontakan dari mereka yang berniat menggulingkan Pangeran.
Jika keluarga Ki Juru Pangalasan ditumpas habis dan rājamudra yang dimiliki bayinya bisa direbut, tentu orang-orang ini akan dengan mudah menggulingkan Pangeran atau bahkan mungkin Gusti Prabu sendiri. Namun, tidak.
Bahkan setelah para pemberontak dihukum, tak ada pergerakan lanjutan apa pun yang terlihat. Keadaan di Purasabhā tetap tenang seolah-olah tak pernah ada yang ingin mengambil alih kekuasaan. Malah, dugaan tentang rājamudra makin mengabur, berganti menjadi kasak-kusuk bahwa Ki Juru Pangalasan dibunuh bukan karena rājamudra, melainkan karena dendam pribadi para pelaku kepadanya.
Akhirnya setelah lama waktu berlalu, peristiwa pembantaian di rumah Ki Juru Pangalasan dianggap sebagai sebuah kemalangan dan tidak dipersoalkan lagi.