Wreddhamantri Arya Angiri menerawang bandul di tangannya. Bandul itu terbuat dari emas dengan titik-titik hijau yang memantulkan cahaya, berbentuk bundar pipih dengan ukiran matahari bersinar delapan.
“Kau yakin bahwa ini asli?” tanya Wreddhamantri Arya Angiri kepada pria yang berlutut di hadapannya. Pria bernama Parwani itu mengangguk.
“Ya, Gusti,” jawabnya mantap.
“Hm, berdirilah.”
Parwani berdiri ngapurancang. Di keningnya, tampak sebuah rajah berbentuk bulan sabit.
“Bagaimana dengan Juru Bapuh?” tanya Wreddhamantri.
“Tampaknya tidak selamat, Gusti.”
“Tampaknya?”
Parwani menunduk. “Hamba akan memastikan besok.”
Wreddhamantri Arya Angiri mengibaskan tangannya. “Tidak perlu,” katanya. “Dia akan segera menyusul jika memang selamat. Kita pergi ke Selatan sekarang!”
“Baik!” Parwani menjura, lalu keluar dari tenda untuk mempersiapkan diri bersama prajurit yang lain.
Senapati Gagak Ireng yang sedari tadi berada di belakang Wreddhamantri bergerak mendekat. “Bagaimana dengan Juru Bapuh, Gusti?” tanyanya. Bagaimanapun, Juru Bapuh sudah belasan warsa melayani Wreddhamantri sejak dia mbalela dari Rawikara.
“Apa kau tidak mendengarku tadi?” Wreddhamantri balik bertanya. Dia menyimpan rājamudra di balik lipatan bajunya, terlihat acuh tak acuh.
Senapati Gagak Ireng menunduk dengan tubuh sedikit membungkuk. “Mohon ampuni kelancangan hamba,” ujarnya, mundur beberapa langkah.
Wreddhamantri Arya Angiri berdiri tegak. Dagunya sedikit terangkat. “Jika kau sudah mengerti, segera siapkan pasukan!”
“Baik, Gusti.”
Sepeninggal Senapati Gagak Ireng, Wreddhamantri Arya Angiri duduk di palinggihan. Dia mengeluarkan lagi rājamudra dan menimang-nimangnya. Sang menteri sepuh lalu menggenggam benda itu dan memejamkan mata, memusatkan pikiran untuk mencoba menguji kemampuan benda yang kabarnya sakti mandraguna itu.
Ular.
Pikiran pertama Wreddhamantri tertuju pada ular. Dalam benaknya, binatang melata itu sangat lihai menyelinap maupun memburu mangsa. Taringnya yang tajam dan bisanya yang mematikan membuat ular menjadi salah satu binatang paling berbahaya. Satu patukan saja bisa melumpuhkan bahkan membunuh manusia.
Wreddhamantri memusatkan pikirannya untuk memanggil ular. Jika benda ini memang memiliki kemampuan seperti yang digambarkan dalam naskah-naskah kuno, pasti akan ada ular yang mendengar panggilannya.
Kersik dedaunan mengusik telinga Wreddhamantri yang masih memejamkan mata. Desisan yang terdengar di antara kersik itu membuat sang menteri sepuh menyunggingkan senyum. Dia membuka mata perlahan. Senyumnya melebar menjadi tawa ketika melihat seekor ular di hadapannya.
Itu ular sendok.
Bersisik hitam kelam dengan sedikit warna kuning di leher bagian dalam, ular itu menegakkan lehernya yang memipih dan mengembang seperti sendok. Lidahnya sesekali muncul, meraba-raba udara.