Sakhayu menyerahkan burung dara yang hampir patah sayapnya kepada Mapatih Manik Mirah.
Manik Mirah menatap iba kepada si burung, lalu melepaskan gulungan surat yang terikat di kakinya. Terdapat bercak darah di kaki dan di gulungan rontal. Manik Mirah membuka gulungan itu dan membacanya tanpa suara. Setelah selesai, dia kembali menggulung dan mengikat pesan itu.
“Ambilkan burung dara yang lain,” perintahnya kepada Sakhayu. Dia sendiri mengambil lembar rontal kosong dan menulis pesan yang lain.
Rājamudra direbut, Nilacitra gugur, aku pergi ke Śabara.
Begitu bunyi pesan singkat yang ditulis oleh Manik Mirah. Dia menumpuk pesan itu dengan rontal dari Nilacitra dan menggulung keduanya, lalu menyerahkan kepada Sakhayu.
Sakhayu yang telah kembali dengan burung dara yang lain menerima gulungan rontal dari Manik Mirah. Dia mengikat gulungan ke kaki si burung dara dan melepaskan burung itu.
Si burung mengepakkan sayap untuk terbang lebih tinggi. Dia harus terbang jauh melewati banyak kawatekan, pegunungan, perbukitan, hutan-hutan dan sungai, juga hamparan sawah hingga akhirnya mencapai Purasabhā ketika matahari tunggang gunung.
Jaruman—pendamping Nararya Jayakarana—melepaskan gulungan pesan dari kaki si burung dara dan menyerahkan surat itu kepada junjungannya.
Nararya Jayakarana membaca pesan pertama dengan raut gelap. Masih tanpa suara, dia membaca pesan kedua yang pada lembarannya terdapat bercak darah kering. Makin membaca, makin pucat raut mukanya. Tangan penguasa Suranagara itu gemetar. “Mereka sudah gila,” bisiknya, menjatuhkan rontal itu ke lantai.
Jaruman memungut rontal yang dijatuhkan dan menyimpannya. Dia menunggu perintah sang raja.
“Kumpulkan semua orang!” perintah Nararya Jayakarana dengan suara bergetar. “Para menteri, senapati, tumenggung … kumpulkan mereka semua! Kita adakan sidang malam ini juga!”
Jaruman mengangguk. Dia segera pergi untuk melaksanakan perintah. Sementara itu di ruangannya, Nararya Jayakarana jatuh terduduk. Dia baca lagi rontal berisi pesan Manik Mirah yang masih digenggamnya.
“Kau harus hidup,” desisnya. “Aku tidak mengizinkan kau mati!”
Mata Nararya Jayakarana memerah. Ada air menggenang di sana. Dia marah karena orang-orang itu sudah lancang merencanakan pemberontakan hingga sejauh ini. Dia juga marah tidak bisa memastikan keadaan adik angkatnya karena sebagai raja, dia harus berada di sini.
Nararya Jayakarana menggenggam tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih, lalu memukul meja dengan keras.
“Baik,” katanya, “jika mereka menginginkan perang, peranglah yang akan mereka dapatkan!”
Tak lama berselang, terdengar ketukan pada pintu. Jaruman masuk, lalu menjura. “Semua sudah menunggu Gusti Prabu.”
Nararya Jayakarana menghela napas panjang dan mengembuskannya. Dia lalu berdiri. “Ayo!” katanya, melangkah tegap ke paseban agung.
Pada saat yang sama, nun jauh di Wanua Mulyar, Manik Mirah sedang berdebat dengan Mandalika. Mereka sudah menyelesaikan masalah kesalahpahaman Mandalika. Mandalika dan Surasena juga sudah saling meminta maaf—Mandalika karena sempat marah kepada Surasena, Surasena karena ledakan amarahnya yang membuat dirinya diculik dan lagi-lagi Mandalika harus menyelamatkannya.
Sekarang, setelah Manik Mirah menjelaskan keadaan mereka dan bahwa dia dan Sakhayu akan membawa Surasena ke Śabara, Mandalika berkeras mau ikut. Dia tidak mau melepaskan Surasena. Menurutnya, Manik Mirah tidak begitu bisa dipercaya.
“Bocah,” kata Manik Mirah dengan nada lelah, “aku tahu kau ingin membantu, tapi lihat dirimu. Tubuhmu saja penuh bebatan seperti itu. Kaupikir lukamu yang tidak terhitung jumlahnya itu bisa sembuh dalam tiga hari?”
“Pertama,” sangkal Mandalika, “aku bukan bocah. Berapa usiamu? Dua enam? Kaupikir kau sudah tua? Kau hanya tujuh tahun di atasku! Dan kedua, aku sudah sembuh.”
Manik Mirah mengusap mukanya dengan kesal.
“Oh, dan ketiga, aku tidak membantumu.”
Ucapan terakhir Mandalika membuat Manik Mirah mematung. “Hah?” katanya setelah beberapa saat tertegun.
“Aku tidak membantumu.” Mandalika mengulangi perkataannya. “Aku pergi untuk menuntaskan dendam keluargaku. Dan aku sudah berjanji pada guruku bahwa aku akan melindungi bocah itu.” Mandalika menunjuk Surasena dengan jempol.
Surasena terperangah. Dia tidak terima disebut bocah.