Manik Mirah terhuyung. Dia segera berbalik untuk melihat apa yang terjadi. Sakhayu sekarang sedang melawan kedua arca dwārapāla penjaga gapura.
Surasena yang berada paling belakang memperhatikan sekitarnya. Dia melihat garis samar-samar di tanah, sekitar satu cengkal jaraknya dari gapura.
“Garis apa ini?” tanya Surasena. Mandalika dan Manik Mirah ikut mengamati. Mereka kini sama-sama berada di belakang garis. Sementara itu, Sakhayu masih bertarung dengan kedua penjaga.
Kedua arca dwārapāla terlihat lambat, tapi juga cepat. Itu aneh. Saat Sakhayu menurunkan pedangnya, mereka bergerak dengan lambat. Namun, ketika Sakhayu kembali mengangkat pedang, gerakan kedua arca itu meningkat sepuluh kali lebih cepat. Pada satu kesempatan, salah satu arca mendorong Sakhayu hingga mundur jauh dan menimpa tiga orang yang sedang berkerumun mengamati garis di tanah.
“Ah!” pekik Mandalika ketika Sakhayu menimpanya. “Kurang ajar! Biarkan aku melawan mereka!”
Mandalika sudah akan maju ketika Surasena menahan lengannya.
“Lihat!” tukas Surasena. Dia menunjuk dua arca dwārapāla yang kini berdiri diam. Tangan yang membawa gada tersilang menghalangi gapura.
“Awan adalah ibuku,” salah satu dwārapāla berkata dengan suara serak dan lambat, “angin adalah ayahku, putraku aliran yang sejuk, dan putriku buah dari tanah. Pelangi menghiasi tempat tidurku dan bumi menjadi tempat peristirahatanku. Siapa aku?”
Mandalika mendecih. “Cih, siapa peduli siap—hmp!”
Manik Mirah membungkam mulut Mandalika ketika si dwārapāla bergerak cepat mengangkat gadanya dan bersiap melompat. Gerakan dwārapāla itu terhenti setelah Manik Mirah membungkam Mandalika dan menarik mundur pemuda itu ke belakang garis.
“Itu teka-teki,” bisik Surasena. Alisnya mengerut.
Awan adalah ibuku, awan yang mengandungnya.
Angin adalah ayahku, angin membantunya lahir.
Putraku aliran yang sejuk, itu adalah anak-anak sungai.
Putriku buah dari tanah, dia menumbuhkan pepohonan.
Surasena tak perlu mengurai larik selanjutnya karena semuanya sudah jelas.
“Hujan,” bisik Surasena. Lalu, dengan suara lebih keras, dia berkata, “Kau adalah hujan yang turun dari langit, mengaliri sungai, dan membuat pohon-pohon tumbuh.”
Kedua dwārapāla tampak tersenyum—dengan senyuman batu mereka yang ganjil—dan kembali duduk. Gada batu mereka sisihkan dari depan gapura. Lalu, sesuatu yang bening tampak berkilauan pada lubang di bawah lengkung gapura.
Keempat orang yang berdiri di belakang garis saling pandang, lalu sama-sama mengangguk. Mandalika yang berjalan duluan, diikuti Surasena. Selanjutnya Manik Mirah, dan Sakhayu terakhir. Mereka merasakan dingin di kulit ketika menembus tabir gapura. Berikutnya, pemandangan yang memilukan menyambut mereka.
Teriakan terdengar di sana sini. Anak-anak berlarian. Ada yang berlari menuju gapura, tetapi ambruk sebelum mencapai gapura. Umurnya mungkin tak lebih dari tujuh warsa. Tangannya terjulur ke depan, seolah-olah meminta pertolongan. Darah merah dan pekat mengalir dari punggung dan dari mulut mungilnya.
Keempat orang yang baru melewati gapura hanya bisa mematung di tempat. Di depan mereka, rumah-rumah terbakar. Tubuh-tubuh bergelimpangan di sana sini. Binatang-binatang magis terbang berputar-putar seperti menggila, banyak yang jatuh dengan sayap mengepulkan asap.
Surasena dan ketiga rekan seperjalanannya melihat dengan mata kepala mereka ketika seorang Pāṇīndriya menusuk perut seorang pria dengan pedang bulan sabitnya dan mengangkat pria itu sejengkal dari tanah. Ada seringai di wajahnya yang berhias coreng-moreng.
Di sisi yang lain, seorang Pāṇīndriya melawan dua Pāṇīndriya yang lain. Tidak tahu mana kawan dan yang mana lawan.
Tak jauh dari mereka, terlihat penduduk desa bergerombol ketakutan. Jumlahnya kira-kira sepuluh orang, sudah termasuk orang dewasa dan anak-anak yang menangis tak keruan.