Menjadi seorang Pāṇīndriya adalah suatu kehormatan. Jalu selalu berpikir begitu. Baginya, bisa menjadi wīrataruṇa adalah anugerah yang tiada duanya. Dengan menjadi Pāṇīndriya, dia bisa melindungi desanya dari makhluk-makhluk liar yang berasal dari alam kasiddhyan. Tak hanya penduduk desa, dengan menjaga Gapura Siddhi berarti dia juga menjaga seluruh Kanakadwipa.
Menjadi Pāṇīndriya adalah keinginan hampir semua pemuda di Śabara. Namun, karena jumlah Pāṇīndriya dibatasi hanya 28 orang dan tidak pernah lebih atau kurang, kesempatan menjadi seorang Pāṇīndriya sangatlah langka. Lagi pula, sebelum dilantik secara resmi, mereka diharuskan mengucapkan sumpah bahwa mereka akan melindungi Śabara dengan segenap jiwa dan raga mereka serta menjaga sepenuh hati agar Gapura Siddhi tidak terbuka lagi.
Namun, melihat para penduduk yang bergelimpangan sekarang dan kawan-kawannya sesama wīrataruṇa menyerang penduduk, semua pandangan Jalu tentang Pāṇīndriya yang tanpa cela menjadi sirna. Dia mengeratkan genggaman pada gagang pedang bulan sabit miliknya. Darah yang mengalir dari pundak kirinya tak dia pedulikan.
Tatapan Jalu tajam menguliti seorang wīrataruṇa di hadapannya. Kawan seperjuangannya sejak menjadi śiṣya di wisma pelatihan dan yang bersama-sama dengannya mengucapkan sumpah setia, kini dengan mudah menarikan tarian kematian. Dan mirisnya, dia tidak sendiri. Justru Jalu yang sendirian mencoba menghadapi mereka berempat mati-matian.
Satu lawan empat. Jika Jalu melawan orang biasa atau pendekar biasa yang bukan seorang Pāṇīndriya, Jalu masih percaya bahwa dia akan menang. Namun, dengan sesama Pāṇīndriya seperti ini, rasanya tidak ada harapan baginya.
Jalu terus melawan. Dia kini menghadapi dua wīrataruṇa, sementara dua wīrataruṇa lain yang juga membelot kini sibuk membunuhi penduduk desa.
“Kalian gila!” raung Jalu ketika sekali lagi dilihatnya seorang penduduk meregang nyawa. Bukan orang dewasa, penduduk yang ini hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Bagaimana mungkin Pāṇīndriya yang telah lama hidup bersama mereka justru kini dengan keji dan tanpa perasaan membunuh orang-orang yang seharusnya dilindungi?
Dunia Jalu terus berguguran ketika lagi-lagi dilihatnya satu nyawa melayang. Seorang wīrataruṇa menusuk perut penduduk—seorang pria—dan mengangkat tubuh penduduk itu sejengkal dari tanah sebelum mengibaskan pedang bulan sabitnya, membuat mayat si pria malang terlempar lepas dan jatuh tergolek di tanah.
Berapa banyak nyawa lagi yang akan hilang? Berapa banyak lagi darah yang akan tumpah?
Seorang pemuda tiba-tiba muncul. Pemuda ini membawa tongkat galih asam yang Jalu kenali sebagai milik Hyang Acaraki dulu. Mungkinkah pemuda ini adalah calon penerus Hyang Acaraki?
Perhatian Jalu sedikit teralihkan, sehingga lawannya berhasil mengenainya lagi. Jalu mundur beberapa tindak untuk memperlebar jarak. Dia perhatikan lagi sekitarnya. Seorang pria berpakaian serbahitam sedang melawan Pāṇīndriya pembelot yang lain. Sementara dua orang asing lainnya—satu pria dewasa dan satu remaja laki-laki—mengiringi penduduk yang selamat pergi dari lahan pembantaian ini.
Salah satu lawan Jalu melihat pergerakan para penduduk. Dia segera meninggalkan pertarungannya untuk mencegat. Si pria asing yang mengiringi penduduk kini melawannya.
“Kau sedang bertarung denganku!” tegur lawan Jalu yang masih berada di hadapannya. Dia mengayunkan pedang bulan sabitnya ke arah leher Jalu, menggarit leher Jalu tanpa ampun.
Pāṇīndriya itu menyeringai meremehkan saat tubuh Jalu ambruk tak bernyawa. Wīrataruṇa itu baru akan ikut mengejar penduduk yang mencoba melarikan diri ketika terdengar lengkingan peluit. Itu adalah tanda bahwa Sang Narottama sudah dipukul mundur dan rekan-rekan mereka yang lain sudah mencapai Kawah Garbha Dumilah.
“Kita pergi!” seru si wīrataruṇa memanggil teman-temannya. Ketiga Pāṇīndriya yang semula bertarung melawan Mandalika, Sakhayu, dan Manik Mirah segera mundur dan bergabung dengannya. Mereka berempat lalu pergi ke kawah.
“Mereka pergi begitu saja?” Mandalika melontarkan pertanyaan. Dia menatap Manik Mirah dan Sakhayu bergantian. Sakhayu, seperti biasa, tidak memberikan tanggapan apa pun. Sebaliknya, Manik Mirah mengerutkan alis.
“Peluit itu memanggil mereka,” ujar Manik Mirah. “Ayo, kita bawa dulu para penduduk ini ke tempat yang aman sebelum pergi memeriksa apa yang terjadi.”