Kawah Garbha Dumilah tidak pernah seramai ini. Petang ini, tidak seperti biasanya, banyak sekali orang berkumpul mengelilingi kawah yang terletak di antara kedua puncak Gunung Wungar.
Di satu sisi ada Sang Narottama bersama delapan Pāṇīndriya— tiga telah lebih dulu diutus menjaga kawah dan lima datang bersamanya—dan di sisi yang lain ada dua belas Pāṇīndriya yang membelot—delapan membelot di alas timur dan empat yang sebelumnya dia utus untuk melindungi penduduk baru saja datang bergabung dengan para pembelot—bersama Wreddhamantri dan seluruh pengikutnya.
Mereka berhadap-hadapan, dipisahkan oleh kawah dengan lahar yang meletup-letup. Sesekali, terdengar keletak keras dan terlihat retakan-retakan di atas permukaan kawah.
Meskipun berhadap-hadapan, raut muka Wreddhamantri sangat berbeda dari Kartika Wulung. Jika Wreddhamantri menampakkan raut kepuasan karena telah berhasil mencapai kawah sesuai perkiraan, Sang Narottama justru menampakkan kecemasan.
Kartika Wulung tahu maksud kedatangan Wreddhamantri. Dia juga tahu malam apa ini.
Ini adalah tithi keempat belas kresnapaksa1, saatnya bulan mati di langit. Pada saat seperti ini, sihir yang menahan Gapura Siddhi berada pada titik paling lemah. Biasanya pada malam bulan gelap, retakan yang muncul di kawah lebih banyak dan lebih besar, dan makhluk yang melompat keluar bisa dua atau tiga kali lebih banyak, lebih kuat, dan lebih beringas. Sekarang dengan keberadaan Wreddhamantri—dan dengan rājamudra di tangannya pula!—di sini, sudah pasti tujuannya adalah membuka Gapura Siddhi.
Seperti sebuah ungkapan lama. Saat bulan mati, para kala dan rākṣasa mengadakan perjamuan agung. Jika Gapura Siddhi terbuka sekarang, entah seperti apa kengerian yang mengikuti.
“Apa kau sadar malapetaka yang akan kautimbulkan jika membuka gerbang ini?” tanya Sang Narottama.
Wreddhamantri tersenyum sinis. “Apa pedulimu jika ada malapetaka atau tidak? Bukankah selama ini kaummu tidak pernah peduli dengan keadaan di Kanakadwipa selain tempurung kecil bernama Śabara ini?”
Salah, tampik Kartika Wulung dalam hati. Memang benar orang-orang Śabara tidak pernah ikut campur urusan di luar wilayah ini. Namun, bukan berarti mereka tidak peduli. Justru karena mereka peduli, makanya mereka memilih mengabdikan diri menjaga Gapura Siddhi agar makhluk-makhluk jahat di baliknya tidak meloloskan diri dan membuat kekacauan di luar wilayah Śabara.
“Gusti, menyerahlah. Tidak ada gunanya melawan.”
Salah seorang Pāṇīndriya yang berdiri di samping Kartika Wulung berkata. Dia mundur beberapa langkah ketika Kartika Wulung berbalik seraya mengibaskan lengannya dengan cepat. Angin yang mampu memapras pohon berembus kencang, tetapi membentur sebuah dinding tak kasat mata sebelum mencapai Pāṇīndriya itu.
Si Pāṇīndriya tersenyum, lega sekaligus puas. Dia lega karena terhindar dari senjata angin Sang Narottama yang mematikan meski tak terlihat wujudnya, dan puas karena berhasil mengurung pemimpinnya sendiri di dalam kubah magis tak kasat mata.
Kartika Wulung menggenggam jemarinya hingga buku-buku jarinya memutih dan kuku-kukunya menusuk telapak tangan. Dia memukul-mukul dinding tak kasat mata yang telah mengurungnya bersama lima Pāṇīndriya yang bersamanya. Tak dia sangka, tiga Pāṇīndriya yang tadi dia tugasi menjaga kawah, ternyata justru bersekongkol dengan orang-orang yang ingin membuka Gapura Siddhi. Mereka bahkan menjebaknya hingga terkurung di dalam kubah magis.
“Kenapa?” Sang Narottama tak mengerti. “Bukankah kalian seharusnya menjaga tempat ini? Tapi, kenapa?”
Si Pāṇīndriya memperdalam senyuman. Tampaknya dia adalah pemimpin para Pāṇīndriya yang membelot.
“Karena,” kata Pāṇīndriya itu, “sudah terlalu lama kita bersembunyi. Orang-orang di luar Śabara selalu menuding kita untuk hal yang tidak pernah kita lakukan. Bukankah sekarang saatnya kita membuka mata mereka? Bahwa kita ada untuk melindungi mereka. Jika kita mau, kita bisa menghancurkan mereka. Mereka seharusnya berterima kasih. Mereka seharusnya menghargai keberadaan kita. Bukankah Gusti juga berpikir demikian?”
“Kau sakit.”