Kartika Wulung mundur selangkah dan memalingkan muka dari dua siluman yang sedang bercumbu. Sebagai orang yang seumur hidupnya dia habiskan dalam pengasingan, tentu saja pertunjukan terbuka di hadapannya itu adalah hal yang tabu baginya. Namun, karena dua sosok di depannya adalah siluman, dia sedikit mengerti dengan tindakan mereka yang asusila.
Para Pāṇīndriya yang bersama Wulung juga ikut memalingkan muka. Mereka sedikit beruntung karena muka mereka tertutup oleh coreng-moreng, berbeda dari Kartika Wulung yang tidak memakai coretan apa pun untuk menyamarkan rona di wajahnya. Mereka— sekalipun sangat berpengalaman dalam bertarung melawan para kala dan rākṣasa yang kerap menerobos retakan gapura—nyatanya memang sangat polos dalam hubungan antara wanita dan pria, lebih-lebih yang ditunjukkan secara terbuka seperti ini. Salah satu dari mereka bahkan berdeham dengan maksud mengingatkan Yaksa Raspati bahwa mereka berada di tempat umum dengan banyak sekali mata memandang. Namun, Pāṇīndriya itu segera menyesali tindakannya dan menunduk dengan semu kemerahan menyebar di telinganya yang tidak tertutup warna coreng-moreng.
Dari ekor matanya, Yaksa Raspati melirik Kartika Wulung yang berpaling dengan muka memerah. Siluman pria itu kembali menegakkan tubuh dan melepaskan siluman wanita di dekapannya. Dia lalu berbalik, menatap Wreddhamantri Arya Angiri.
“Kau ingin kami membantumu memenangkan perang? Tunjukkan jalannya!”
Wreddhamantri Arya Angiri mengangguk. Dia sudah merasa bahwa perangai Yaksa Raspati agak aneh. Sebagai siluman yang katanya tunduk kepada orang yang memiliki rājamudra, dia tidak tampak begitu menghormati Wreddhamantri. Atau mungkin itu hanya perangai siluman yang biasa, pikirnya menghibur diri. Lagi pula, sudah kepalang tanggung. Semuanya sudah sejauh ini. Dia harus tetap bergerak sesuai rencana.
“Ikuti aku!” perintah Wreddhamantri Arya Angiri. Dia berbalik dan memimpin pasukannya meninggalkan gunung.
Kartika Wulung kembali menggedor-gedor kubah tak kasat mata yang mengurungnya. “Berhenti! Ini kesalahan!” teriaknya mengingatkan sepenuh hati. “Mereka tidak tunduk padamu! Mereka tidak—”
Prang!
Kubah magis yang mengurungnya pecah tiba-tiba. Kartika Wulung mundur dengan terkejut. Belum hilang keterkejutannya, lututnya sudah jatuh membentur tanah berbatu yang keras.
Kartika Wulung mencoba bangkit, tetapi tak bisa. Ada kekuatan luar biasa yang menekannya, seolah-olah sebongkah batu raksasa telah dijatuhkan di kedua pundaknya, mengimpit Sang Narottama sehingga tak bisa bangkit. Dan ketika dia hendak berteriak, bibirnya terkatup rapat tanpa bisa dibuka seolah-olah telah dijahit menjadi satu.
Yaksa Raspati meliriknya. Senyum ganjil tersungging di bibir siluman itu. Dia dan kaumnya mengikuti kepergian Wreddhamantri Arya Angiri. Begitu pula dengan para Pāṇīndriya yang membelot.
Setelah mereka pergi, tinggal Kartika Wulung dan lima Pāṇīndriya yang tersisa di sana.
Di atas permukaan kawah, susunan magis masih berkeletak-keletak dengan rājamudra menggantung di pusat.
“Fiuuuh, mereka semua sudah pergi?” bisik seseorang tiba-tiba.
Kartika Wulung menoleh dengan cepat. Dia mencoba membuka mulut, ternyata berhasil. Beban yang menahannya untuk berdiri juga menghilang. Rupanya sihir Yaksa Raspati hanya menahannya hingga mereka meninggalkan Kawah Garbha Dumilah.
Kenapa siluman itu memecahkan kubah yang memenjara Wulung? Sang Narottama sendiri tak tahu. Perangai siluman itu sunggung ganjil.
Empat laki-laki berbeda usia muncul dari balik bebatuan.
“Siapa kalian?” tanya Kartika Wulung setelah dia kembali berdiri. Lututnya berdarah karena tadi membentur tanah berbatu dengan keras.
“Manik Mirah,” jawab pria pertama, tatapannya masih tertuju ke kejauhan. Ke arah kepergian rombongan Wreddhamantri. Alisnya mengerut.
“Mandalika. Muka kalian benar-benar mirip,” sambung pemuda di samping Manik Mirah. Pemuda itu bersedekap sambil memeluk tongkat galih asam dan mengamati Kartika Wulung dari atas ke bawah. Dialah yang tadi menceletuk dan mengejutkan Sang Narottama.
Di belakang mereka, ada seorang anak laki-laki dan seorang pria yang terlihat muram.
“Surasena,” sahut si anak laki-laki, sementara pria bermuka kelam di sampingnya tidak mengatakan apa pun.
Kartika Wulung terperanjat. “Kau bilang siapa namamu?”
“Surasena,” jawab Surasena dengan mata polos.
Lengan Kartika Wulung terentang. Dia menunjuk benda yang menggantung di tengah jalinan magis atas kawah. “Kau pemilik sejati rājamudra?” tanyanya setengah berbisik. Lalu, dengan suara lebih keras, dia mengulangi. “Katakan! Apa kau pemilik sejati segel sang raja?”
Surasena mengangguk, sedikit bingung dengan ketergesa-gesaan pertanyaan Sang Narottama.
Anggukan Surasena membuat Kartika Wulung dan para Pāṇīndriya l yang tersisa mendesah lega. Mereka menjatuhkan diri di tanah, mendesahkan kata-kata seperti, “Kita selamat,” atau, “Syukurlah,” atau sesuatu yang lain yang mirip dengan itu.
“Ada apa?” tanya Mandalika, kini berdiri di depan Surasena. Tangannya yang menggenggam tongkat galih asam dalam keadaan siaga.
Kartika Wulung memperhatikan tongkat itu, lalu mendongak menatap Mandalika. “Kau adalah anak itu? Kau adalah śiṣya Salaka?” tanyanya kembali bersemangat. Dia berdiri dan memegangi kedua pundak Mandalika, membuat pemuda itu berputar beberapa kali sementara dia memeriksa tubuhnya.
“Kau baru terluka?” cetus Sang Narottama. Dia memeriksa lengan Mandalika dengan terkagum-kagum. “Luar biasa, tubuhmu sembuh dengan cepat!”
Mandalika menarik lengannya dari Kartika Wulung. Tatapannya penuh selidik. “Siapa Salaka? Guruku adalah Pu Walen! Mukanya sama persis denganmu. Kalian benar-benar kembar rupanya. Kau pasti Sang Narottama, kan? Para penduduk sudah bercerita tadi. Dan Pāṇīndriya yang kausuruh memeriksa keadaan penduduk juga sudah mempertemukan kami dengan guruku. Ck, guruku sampai terluka seperti itu. Kau tidak bisa menjaganya, ya? Narottama apanya? Mendapat sebutan seagung itu, ternyata hanya orang biasa yang tak bisa apa-apa—aduh!” Mandalika mengaduh seraya mengusap kepalanya. Dia menoleh, memelototi Manik Mirah yang baru saja menjitaknya.
Manik Mirah balas memelototi Mandalika. “Dasar bocah tengik tak tahu sopan santun!” omelnya. Kepada Kartika Wulung, dia bertanya, “Apakah gapura itu bisa ditutup lagi?”