“Aaargh!”
Surasena tersentak bangun dengan teriakan. Dia baru saja bermimpi buruk. Dalam mimpinya, puluhan ajag mengejar dan mengerubungi Surasena. Ke mana pun dia berlari, para ajag itu terus mengikutinya. Gonggongan mereka begitu gaduh.
“Selamat pagi,” sapa Mandalika. Dia mengangsurkan semangkuk bubur nasi kepada Surasena. “Bagaimana perasaanmu?”
“Buruk,” jawab Surasena sambil menerima mangkuk bubur dari Mandalika.
Mandalika tersenyum geli, lalu menggeleng. Dia menunjuk ke belakang Surasena dengan dagunya. “Mereka terus ribut semalaman. Eits, jangan jatuhkan buburnya!” Mandalika menahan tangan Surasena yang sudah gemetar. “Tenanglah. Mereka bukan mau menyerangmu. Mereka datang karena kau memanggil. Ingat?”
Surasena menunduk. “Aku tidak memanggil mereka,” ujarnya pelan.
Mandalika mendesah. Dia menyentil kening Surasena. “Berhenti mengeluh dan makanlah. Nanti, kau harus menyuruh mereka mengirim pesan kepada Gusti Prabu.”
Surasena terdiam lama. Dia baru sadar belakangan ini suka mengeluh kepada Mandalika. Padahal, sebelumnya dia hampir tidak pernah mengeluh. Apa pun yang menimpanya, sebelum ini Surasena bisa menahannya dalam diam. Namun, sejak mengenal Mandalika—yang sebenarnya jika dihitung dari sejak pertama kali mereka bertemu hingga hari ini baru tiga belas hari lamanya—dia jadi lebih mudah mengeluh.
Mungkin, karena merasa Mandalika selalu menolongnya, Surasena jadi tanpa sadar mengandalkan pemuda itu, dan merasa bisa mengeluhkan apa saja kepadanya.
“Kenapa malah diam?” tegur Mandalika. “Ayo, cepat makan!”
Surasena tersenyum. Tiba-tiba dia merasa kakaknya ada di sini. Surasena menyendok bubur dengan mata berkaca-kaca.
Melihat Surasena makan dengan mata berkaca-kaca, hati Mandalika terenyuh. Tangannya bergerak menepuk pelan kepala Surasena. Jika adiknya hidup, mungkinkah dia akan seperti Surasena? Mandalika bertanya-tanya dalam hati. Namun, dia juga menyadari sesuatu.
Setelah mengetahui tentang rājamudra, Mandalika jadi lebih bisa berbesar hati sekarang. Dia sadar jika adiknya hidup malam itu, jika Surasena yang mati dan rājamudra berhasil direbut malam itu … tak akan ada ahli siasat yang cemerlang seperti Manik Mirah. Suranagara akan jatuh saat itu juga ke genggaman Wreddhamantri yang culas dan tak akan ada yang bisa lolos darinya. Bahkan, mungkin sekali keluarga Mandalika yang mendukung Pangeran akan tetap ditumpas. Dan nasib adiknya akan sama, pada akhirnya.
Mungkin, ini sudah kehendak Dewa. Dengan kekeliruan Wreddhamantri malam itu serta keputusan Rakai Paminggir yang menyembunyikan jati diri Surasena, semua orang bisa bersiap lebih baik. Manik Mirah dan Pangeran Jayakarana tumbuh menjadi pemimpin negara yang sama-sama cemerlang. Dibandingkan prabu ing usana dan Mapatih Sepuh yang pada saat itu sudah berusia lanjut, Manik Mirah dan Prabu Jayakarana yang sekarang lebih bugar dan lebih mampu jika harus terjadi perang besar-besaran.
Sekarang pun, sekalipun rājamudra berhasil direbut dan Gapura Siddhi telah dibuka, masih ada harapan bagi mereka.
“Aku sudah selesai,” kata Surasena. Dia sedikit heran dengan Mandalika yang terus menepuk-nepuk pelan kepalanya selama dia makan. Tadi dia ingin menegur, tetapi melihat Mandalika seperti sedang melamunkan sesuatu, Surasena mengurungkan niatnya. Lagi pula, tepukan di kepala ini sedikit menawarkan kerinduan Surasena kepada kakak-kakaknya.
Mandalika tersadar dari lamunan. Dia menerima mangkuk bubur Surasena dan membawa mangkuk itu ke dapur dadakan di luar gua yang dibuat oleh penduduk desa.