Sakhayu menghela kekang kuda yang ditungganginya agar berderap lebih cepat. Itu kuda yang sudah disiapkan sejak awal di rumah peristirahatan yang ada di Wanua Mulyar. Sebelum pergi, dia juga sudah melepaskan pemburu bernama Sangka yang oleh Nilacitra ditahan di ruang belakang.
Di depan Sakhayu, Manik Mirah berkuda seperti dikejar setan. Ah, bahkan ungkapan “dikejar setan” ini pun terasa menggelikan saat ini, mengingat para asura yang keluar dari gapura semalam. Sakhayu mengerti, isi pesan pagi tadi tentu telah mengguncangkan tuannya.
Manik Mirah sang prabhāswarajnyāna belum pernah mengalami kegagalan seumur hidupnya. Berapa banyak pemberontakan yang terjadi sejak dia memangku jabatan Mapatih? Semua berhasil dia padamkan. Berapa banyak usaha pembunuhan yang dilayangkan kepada Gusti Prabu dan kepada dirinya sendiri? Semua berhasil dia patahkan. Akan tetapi, kali ini berbeda. Kali ini, musuh mereka bukan hanya manusia.
Seratus lima puluh ribu prajurit Wreddhamantri mungkin masih bisa ditundukkan meski harus mengorbankan banyak nyawa. Namun, seribu makhluk golongan asura yang setiap satuannya memiliki kekuatan berlipat-lipat dari manusia biasa dan keberingasan melebihi binatang paling buas … siapa yang dapat melawan mereka semua?
“Hiya, hiya!”
“Hiya!”
Sakhayu mengendalikan kuda tunggangannya mengikuti Manik Mirah. Jejak debu beterbangan di jalan yang mereka lewati, membubung hingga tinggi.
Mereka telah meninggalkan Kawatekan Pasigyan sekarang. Tiga kawatekan lagi dan mereka akan sampai di Purasabhā. Tanpa memelankan laju kuda maupun beristirahat barang sejenak, Sakhayu dan Manik Mirah susul-menyusul melintasi jalan berdebu, menembus hutan dan juga bulak luas. Matahari di timur makin tinggi. Sinarnya mulai menyengat kulit.
Tiba di bulak dekat Wanua Giring, Manik Mirah tiba-tiba menarik kekang kudanya hingga kuda itu meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki depan. Sakhayu ikut menghentikan laju kudanya.
“Lihat desa itu,” tunjuk Manik Mirah dengan dagunya.
Asap terlihat membubung dari rumah-rumah yang ada di Wanua Giring. Samar-samar, terdengar pula teriakan terbawa angin. Sakhayu memicingkan mata. Di atas atap rumah-rumah penduduk, terlihat beberapa sosok berlompatan.
Manik Mirah sepertinya melihat juga apa yang dilihat oleh Sakhayu. Dia segera memutar kudanya dan berkata, “Kita lewat jalur lain!”
Begitulah, dari sana Sakhayu dan Manik Mirah harus terus-terusan berbelok, menghindar, dan mencari jalan yang lain. Karena, di desa-desa yang mereka lewati telah terjadi penghancuran oleh para kala dan rākṣasa. Manik Mirah bukannya tidak mau membantu, tetapi dia harus mencapai Purasabhā agar bisa menghentikan semua kegilaan ini. Atau, setidaknya mencegah agar korban yang jatuh tidak makin banyak.
Mereka tiba di kuṭarāja ketika matahari menggantung di barat.
“Lepaskan gajah-gajah!” Manik Mirah meneriakkan perintah tanpa memelankan laju kudanya.
Sakhayu langsung meniup peluit khusus yang memberitahukan juru gajah untuk melepaskan gajah-gajah. Namun, tak ada satu pun orang yang keluar. Sakhayu membelokkan kudanya ke tempat juru gajah menyimpan kunci rantai yang mengikat para gajah. Sampai di pondok jaga juru gajah, Sakhayu langsung melompat turun dari kuda dan bergegas menggeledah. Tak perlu waktu lama baginya menemukan segepok kunci besi yang besar-besar dan berat. Sakhayu lantas melepaskan para gajah secepat yang dia bisa.
Manik Mirah meninggalkan Sakhayu di pagajahan. Dia sudah merasa ada yang tak beres sejak di kuṭarāja. Sebabnya, kuṭarāja yang biasanya sangat ramai dan jalanannya penuh orang lalu-lalang kali ini sepi sekali.
Tak ada satu pun orang terlihat di depan rumah, apalagi di jalan. Melintasi pagajahan pun, Manik Mirah tak melihat satu pun juru gajah yang biasanya sibuk memberi makan gajah atau membersihkan kotoran para gajah.