Sepeninggal Manik Mirah, Sakhayu menuntun Permaisuri dan yang lain menyusuri sebuah lorong rahasia. Lorong bawah tanah itu dibangun oleh prabu ing usana dulu, sebagai jalan keluar kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan di Istana.
Sementara itu, Manik Mirah pergi ke bilik khusus milik Prabu Jayakarana. Bilik ini terlarang bagi orang lain, bahkan mungkin Permaisuri pun belum pernah memasukinya. Di sini, tersimpan pusaka-pusaka kerajaan. Sejauh yang Manik Mirah tahu, hanya dirinya yang oleh Prabu Jayakarana diperbolehkan memasuki bilik ini.
Manik Mirah mencari satu pusaka yang sudah lama sekali disimpan. Sebuah trompet gading yang istimewa, pusaka nāgadanta.
Setelah menemukan pusaka yang dicari, Manik Mirah tak membuang waktu lagi. Dia membawa nāgadanta ke gapura utama dan meniupnya, sebuah tiupan panjang yang menghasilkan bunyi menggetarkan.
Ketika mendengar trompet itu, gajah-gajah di luar yang banyak jumlahnya langsung mendekat dan berbaris. Salah satu dari gajah-gajah itu merendahkan tubuh, membiarkan Manik Mirah menaikinya.
“Ayo,” kata Manik Mirah, “kita bantu raja kita.”
Para gajah menyambut dengan menderum lantang. Kemudian, bersama-sama mereka menuju Selatan.
Di tempat lain, jauh di jantung Śabara, Surasena sedang bersiap. Dia mendengarkan dengan saksama setiap arahan dari Sang Narottama.
Di belakang Surasena, Mandalika memukul-mukul dinding kubah tak kasat mata yang mengurungnya. “Jangan lakukan ini!” teriak Mandalika dengan suara hampir serak. “Sena, hentikan! Kita cari cara lain, pasti ada cara lain! Guru, Guru, katakan pada Narottama, pasti ada cara lain, kan? Guru?!”
Surasena menulikan telinga dari teriakan Mandalika. Air matanya menggenang meski tak sampai jatuh. Dia mengangguk ketika Narottama selesai dengan arahannya, dan pergi ke tempat yang ditunjuk.
“Ingat, kau harus melakukannya pada saat yang tepat, tidak lebih dulu dan tidak terlambat,” kata Sang Narottama.
Surasena kembali mengangguk. Dia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Saya siap,” katanya.
Narottama dan sebelas Pāṇīndriya yang tersisa segera menyebar di sekeliling Kawah Garbha Dumilah. Berdiri tegak, tangan membentuk bajrāstra mudra, dan mulai merapal mantra.
“Tidak, tidaaak!” Mandalika masih gigih menggedor-gedor dinding kubah meski dia tahu itu sia-sia. Dia benci semua ini. Dia benci gurunya dan Narottama dan para Pāṇīndriya. Dia benci Wreddhamantri yang telah menyebabkan semua ini terjadi. Dulu dia menghabisi keluarga Mandalika, dan sekarang ketika dia sudah menganggap Surasena seperti adik sendiri, tua bangka itu malah mengundang malapetaka yang lebih besar. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Menimbulkan kekacauan dan bencana kematian di mana-mana, apa yang dia cari?
Pada saat yang sama, di Selatan. Yaksa Raspati melihat perang campuh di depannya dengan senyum mengembang. Di sampingnya, Atidhurta berdiri anggun bagaikan dewi peperangan.
“Kau tidak membantu mereka?” Atidhurta bertanya.
“Kau juga tidak,” balas Yaksa Raspati tanpa melepas senyumnya.
Atidhurta mendesah. “Hhh ... apa boleh buat. Aku hanyalah wanita yang lemah dan tidak menyukai kekerasan.”