Ketika melihat Manik Mirah datang bersama pasukan gajah, Nararya Jayakarana sungguh bersyukur. Harapan yang semula porak-poranda setelah mengetahui bahwa Wreddhamantri benar-benar membuka Gapura Siddhi dan melepaskan para asura kembali utuh dan makin kuat. Semangatnya bangkit kembali, dan bersama pasukan dan para perwiranya, dia maju mendesak musuh.
Perang ini sudah berlangsung sejak Nararya Jayakarana tiba di Tanah Selatan parak esuk tadi. Mereka begitu terkejut ketika melihat banyak sekali asura berada di garis terdepan pasukan Wreddhamantri. Tak ada basa-basi, tak ada tukar pikiran, para asura itu langsung menyerbu dan perang seketika dimulai.
Di tengah kekacauan, Nararya Jayakarana melihat ada banyak dari kaum asura yang meninggalkan lapangan. Saat itu hatinya mencelus. Kepergian para asura ini hanya berarti satu hal, mereka hendak menyerang para penduduk.
Nararya Jayakarana tidak tahu apa yang terjadi di Istana dan tidak ingin memikirkannya. Bagi dia, sekarang yang terpenting adalah perang di depannya.
Perang berlangsung lama sekali, rasanya tidak pernah usai meski sudah puluhan—bahkan mungkin ratusan—prajurit musuh yang dia kalahkan. Para asura membuat semuanya lebih sulit dan membuat pasukan Nararya Jayakarana cukup terdesak. Hingga dia mendengar derum trompet dan Manik Mirah datang bersama pasukan gajah.
Para prajurit bersorak-sorai mengetahui bahwa bantuan telah datang. Terlebih, ketika angin kencang tiba-tiba datang dan menarik pergi para asura.
Tanpa pasukan dari golongan kala, rākṣasa, dan siluman, pasukan Wreddhamantri berkurang sangat banyak. Kali ini, sisa pasukan yang memihak Istana bisa dibilang seimbang dengan pasukan pemberontak.
Atidhurta sama seperti kawan-kawannya, ikut terseret oleh angin yang menarik kuat. Siluman wanita itu menggertakkan gigi. Bagaimanapun dia tak ingin menyerah. Tidak mungkin dia mau kembali ke tempat terkutuk itu.
Dalam keadaan terdesak, Atidhurta menggigit jempolnya dan mengisap darah yang keluar. Dia menyimpan darah itu di dalam mulut sembari melihat ke sekitarnya. Harus mencari tumbal, pikirnya. Harus mencari manusia untuk mengikat dirinya ke tanah ini agar dia tidak terseret kembali ke tanah terkutuk itu.
Sementara itu, pasukan Wreddhamantri mulai terdesak. Pasukan gajah yang dibawa oleh Manik Mirah benar-benar membalikkan kedudukan. Wreddhamantri yang sebelumnya bisa tertawa pongah, kini hanya bisa mengatupkan rahang. Menggeram.