Suasana semakin mencekam. Matahari perlahan mulai naik ke permukaan. Jam menunjukkan pukul 4 dini hari dan kesembilan remaja itu masih berada dalam permainan yang entah kapan selesainya.
Usai mendengar ucapan Mr. A terkait kegagalan yang mereka temui untuk pertama kalinya, Berlian langsung bersimpuh di tempat. Sementara sebagian yang lain hanya bisa mengusap kasar rambutnya sesekali berdecak pelan. Mereka tidak bisa berbuat apapun selain menunggu hal buruk yang akan terjadi beberapa menit lagi.
Karena apa yang telah terjadi tidak bisa diputar kembali.
Dan Berlian, menyesali hal itu.
Kini, puluhan pisau yang berada di hadapan Bella bergerak maju secara perlahan. Benda-benda itu siap memangsa korban selanjutnya sedangkan si korban justru masih tidak sadarkan diri.
Brengsek! Apa yang harus gue lakuin? batin Berlian gusar.
Sedari tadi ia sudah memohon kepada pria itu untuk melepas Bella dan menggantinya dengan nyawanya sendiri. Namun sepertinya, pria itu mendadak tuli. Membuat Berlian terpaksa mengabsen nama binatang dalam hati. Mengumpat.
“Tindakan yang buruk. Padahal, ini permainan akhir yang harus kalian selesaikan,” ujar Mr. A dengan santainya. Ia mengelilingi bangkunya sekali sebelum akhirnya duduk dengan kaki bertumpu.
Netranya tak lepas memandang tubuh Bella yang sebentar lagi akan habis tertusuk pisau. Ia melirik arlojinya sekilas. Tinggal beberapa detik lagi dan permainan akan ia akhiri di sini.
“Nih! Makanya kalau ada apa-apa jangan ditinggalin. Susah sendiri, kan. Badan doang yang besar, otak engga.”
Suara meleking masuk ke indera pendengaran mereka. Perlahan, kepala mereka tertoleh dan mendapati Gisel sudah berdiri di ambang pintu sembari membawa sebuah kepala. Tangannya yang menjambak rambut potongan kepala itu terangkat, menganyunkan benda bulat itu tepat di hadapannya.
“Gisel?” Berlian membeo tak paham. Namun sedetik kemudian, netranya pun membulat.
BUK!
“IYUHH.”
Farkhan melempar kepala milik Afik ke arah Dita yang langsung diterima oleh gadis itu. Sial. Bocah kecil itu malah melempat benda itu ke arahnya. Apa ia tidak tau jika Farkhan sedikit takut dengan darah manusia?
Meskipun dilanda rasa jijik, Dita nekat membawa potongan kepala terakhir dan memasukkannya ke dalam keranjang yang ada di dekatnya. Berkumpul dengan kepala milik temannya yang lain di satu tempat.
TEET! TEET!
Kamera cctv yang ada di tiap sudut ruangan tempat para remaja itu berkumpul tiba-tiba berkedip. Laser merah menyorot pada Farkhan, Herna, Jena, dan juga Wibhi. Kerutan di kening mereka terlihat jelas. Apa-apaan ini?
Berlian sempat menoleh ke arah pintu, tempat di mana Gisel berdiri tadi. Tapi ia tidak menemukan keberadaan bocah perempuan itu di sana. Mungkinkah dia udah pergi?
“Eungh—“
Bertepatan dengan itu, Bella sadar. Matanya terbelalak terkejut ketika mendapati puluhan pisau berhasil menggores tubuhnya secara perlahan. Sial sekali! Mengapa ia harus bangun dan merasakan penderitaan ini?
“Oh, bagus sekali jika Bella sudah bangun. Kamu akan melihat pertunjukan menarik sebelum mati. Lihatlah!”
Mr. A menunjuk teman-teman Bella yang masing-masing dari mereka memasang wajah bingung. Mereka saja bingung apalagi Bella yang baru bangun.
Tapi, pertunjukan apa yang dimaksud pria tua itu?
Gadis itu meringis kala sekujur tubuhnya terasa perih. Pisau yang menusuk bagian perut dan dadanya semakin lama semakin dalam. Darah segar mengucur kian deras.
Ngilu
Perih