Di setiap permainan, ada yang kalah dan ada yang menang. Pemain yang mendapat kegagalan pasti merasa kesal atau bahkan melakukan hal yang di luar dugaan. Kegagalan yang mereka dapat harus bisa dilampiaskan oleh suatu hal agar perasaan lega menyelimuti jiwa dan raga.
Lain halnya dengan pemain yang mendapat kemenangan. Ia diliputi rasa bahagia yang membuncah dan akan melakukan hal menyenangkan untuk melampiaskan kebahagiannya itu.
Masalah sepele namun berujung hal besar.
Berlian mungkin akan melakukan hal serupa. Teori yang ia dapat dari hasil pengamatannya lebih mudah dicerna olehnya daripada membaca ratusan teori memusingkan.
Saat ini, ia tengah berada di atap sekolah. Sang fajar mulai mengintip dari ufuk timur. Menyembul keluar dengan sinar hangatnya. Membawa secercah kebahagiaan dan harapan untuk orang-orang yang hidup di bawah naungannya. Termasuk Berlian.
Ia harap, terlepas dari permainan laknat ini, ia bisa menemukan kebahagiaannya bersama orang yang hingga saat ini ingin ia lindungi.
Pemuda itu menoleh ke arah samping. Ada Bella yang duduk terikat pada kursi dengan helm yang terpasang di kepalanya. Luka di tubuhnya berhasil dililit kain oleh pemuda itu. Sebenarnya, Berlian takut jika gadis itu sampai terkena infeksi karena lukanya itu. Tapi, ia bisa apa? Di sini tidak ada obat untuk mengobati Bella.
Keadaannya pun tidak beda jauh dengan Bella. Di sebelah kanannya ada Itsna dan juga Rizky. Sementara Dita berada di sebelah kiri Bella. Kelima gadis itu berada di posisi sama dan bernasib sama pula.
“Kalian sudah tau, sejarah permainan dari Muffin School sendiri itu bagaimana?” Mr. A memulai percakapannya. Ada remot bertombol biru yang ia genggam. Semua kendali lagi-lagi ada di tangannya.
Mau tidak mau, pemuda itu harus menuruti permintaannya kali ini.
“Saya tanya lho. Apa mau saya tekan tombol ini biar kalian semua ngerasain penderitaannya?” Ia menggoyangkan remot itu dengan santai.
Dita yang sudah gemetar sedari tadipun angkat bicara. “K—ita tau se—dikit.”
“Apa yang kalian tau?”
“Ada permainan bersejarah di Muffin School. Gue gak tau nama permainannya itu apa. Tapi, para siswa diwajibkan untuk berpartisipasi dalam permainan itu terlepas dari bagaimana kejamnya peraturan yang ditetapkan pihak sekolah. Hidup dan mati ada di tangan mereka. Yang hidup bisa melanjutkan hidupnya dan yang mati akan berakhir di permainan itu,” terangnya dengan tangan gemetar. Pria itu mengangguk sekali.
“Cuma sebagian kecil. Kalau kalian berempat?” Ia melempar pandangannya pada mereka.
“Jawaban gue sama kayak Dita,” ucap Bella tegas.
BRZT!
Tubuh Bella tersengat dan kejang dalam beberapa detik. Berlian yang melihat itu mendadak berontak dan langsung mengalami hal serupa seperti Bella.
Dita menggeleng pelan melihat kedua temannya yang mulai menderita.
“Jawaban yang tidak memuaskan. Saya tidak suka. Ingat aturan mainnya, kan?” Pria itu menggoyangkan kembali remot yang ia genggam lalu berucap, “Jawab sesuai naluri hatimu. Jangan ikut-ikutan jawaban teman! Harus kreatif jadi siswa. Kalau kayak gini, kapan negara kita maju?”
Mr. A menghela napas panjang. Baru permulaan tapi ia sudah merasa bosan. Benar-benar permainan yang tidak menyenangkan.
“Rizky, apa yang kamu ketahui tentang Muffin School?”
Rizky menghela napas sekali. “Roti. Dulunya, sekolah ini adalah toko roti. Muffin Bakery.”
“Lho, kok? Lo dapat info dari mana?” tanya Itsna dengan kening berkerut bingung. Ia tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya. Rizky dapat informasi dari siapa? Dan mengapa pemuda itu tidak pernah mengatakan hal ini pada mereka?
Rizky menoleh. Wajah datarnya terlihat menyebalkan di mata Itsna.
“Abang gue.”
“Maksud lo?”
“Abang gue lulusan sekolah sini angkatan awal. Dia juga ikut permainan bersejarah ini dan mengetahui semua yang berkaitan dengan Muffin School. Gue dapat info dari dia. Dia ... termasuk murid beruntung yang berhasil melewati permainan itu hingga akhir. Hanya ada beberapa murid yang selamat waktu itu.”
“Terus? Apa hubungannya sama toko roti?”
“Sekolah kita dulunya adalah toko roti. Ada banyak roti yang mereka jual dan rasanya enak semua. Menjadi toko favorite semua orang, apalagi di kalangan remaja yang dimabuk asmara. Namun, usut punya usut kalau roti di toko itu terbuat dari daging manusia. Daging manusia mereka olah hingga lembut lalu dijadikan adonan roti. Setelahnya, mereka menyajikan masakannya itu kepada pelanggannya.
“Ada yang melihat proses pembuatan roti itu dan melaporkannya ke pihak polisi. Akibatnya, toko roti itu tutup dan para pembuat roti ditangkap polisi. Mereka di penjara.”
“Tapi, hal itu tidak berlangsung dalam waktu lama. Para pembuat roti itu kabur bertepatan dengan meninggalnya orang yang melapor kepada pihak polisi. Aneh emang. Belum lagi orang itu meninggal dengan cara yang tidak wajar. Isi perutnya habis dikoyak kayak dimakan sama binatang buas. Padahal dia matinya di penjara. Tanpa jejak pula. Gak mungkin ‘kan kalau dia ngoyak tubuhnya sendiri sementara ia udah mati?”
“Jawaban yang sangat tepat. Tapi, ada sedikit adegan mengejutkan setelah itu. Saya rasa, kamu tau apa itu.” Rizky merotasikan bola matanya.
“Gue duga, para pembuat roti itu adalah guru di sekolah ini. Mereka mengembalikan nama Muffin dengan mengganti nama belakangnya. Bakery menjadi School. Beda jauh memang, tapi itulah tujuan mereka.”
Rizky berdecih lalu memandang lekat wajah Mr. A. “Gue rasa, kita udah ketemu salah satu pembuat rotinya, Na.” Ia memandang Itsna setelahnya.
“Maksud lo ....” Itsna mengikuti arah pandang Rizky yang langsung mendapat anggukan singkat dari sang empu.
“Lo pelakunya!”
Sudut bibir pria itu terangkat. “Kamu benar, Ky. Saya ... bagian dari mereka.”
BRAK!