“Jadi kapan kau pulang, Nak?”
Sebuah pertanyaan yang mudah, namun untuk aku yang sekarang terlalu menyakitkan. Aku bahkan tak siap menghadapi kalimat-kalimat hiburan tak tulus atau tatapan tak menyenangkan soal batalnya pernikahanku.
“Belum tahu, Ma.”
Dari seberang terdengar suara desahan lemah Mama. Aku sungguh merasa bersalah. Sejak kejadian pembatalan pernikahanku dengan pria yang bahkan aku tak sudi menyebut namanya, Mama jadi semakin perhatian padaku. Bahkan, terlalu perhatian. Telepon dari Mama makin sering datang. Atau minimal SMS sekadar mengingatkan makan.
“Ya, sudah. Hati-hati di rantau ya, Nak. Makanmu dijaga. Jangan kayak Mama, sudah tua jadi menyesal karena perutnya jadi sering sakit.” Suara tawa Mama terdengar, tapi aku sedang tak begitu ingin menanggapi candaan Mama yang jauh dari lucu.
“Iya, Ma. Mama juga jaga kesehatan. Ke dokterlah, diperiksakan kalau sakit.”
“Iya, Nak. Sudah, ya. Kabari Mama kalau mau pulang, nanti Mama masakkan kesukaan Diva.”
“Hmm.” Kuusap air mata yang sudah mulai mengalir. Ada jeda hening yang cukup lama. Aku dan Mama seolah enggan mengakhiri pembicaraan.
“Diva, Mama selalu doakan Diva dapat yang terbaik, jauh lebih baik daripada dia. Yang kuat ya, Nak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam.”
Air mataku kini mengalir kian deras. Tapi aku harus buru-buru menghilangkannya. Aku tak mau terlihat menangis di kantor, apalagi jam kerja seperti ini.
“Traveling is healing.”
Sebuah suara terdengar dari belakangku. Tanpa menoleh pun aku tahu itu Hannah. Entah sejak kapan dia di sana. Aku melihat bayangannya dari layar komputerku yang menggelap karena lama kubiarkan sejak menerima panggilan telepon dari Mama. Hannah sudah duduk di kursi yang sedang ditinggalkan rekan setimku yang bertugas di luar kota. Dia memutar-mutar kursi yang didudukinya, dan bibirnya tampak memberengut. Aku segera menggeser mouse membuat layar kembali menyala dan mulai kembali tenggelam dalam deadline-ku. Jika aku meladeni Hannah bisa-bisa pekerjaanku tidak selesai.