Jika ada yang memintaku mengurutkan peringkat orang terbaik di kantor ini, maka aku akan menempatkan pemimpin redaksiku pada urutan pertama. Mbak Rosma amat dekat dengan anak buahnya dan selalu bisa mencairkan suasana. Dia sudah seperti Kakak bagiku, dan selalu bisa berkeluh kesah kepadanya soal banyak hal. Meskipun urusan pekerjaan dia tetap disiplin.
Aku selalu betah berlama-lama berdiskusi dengannya. Tentang apa pun. Namun, moodku yang sedang amat tak baik ini tak memungkinkan untuk berbasa-basi. “Tumben, wajahmu kusut? Lagi patah hati?”
Aku tertegun. Saat masih berusaha membalas candaan yang sedang tak bisa kutanggapi santai itu, Mbak Rosma sudah melanjutkan ucapannya.
“Masa hari gini masih patah hati, Div? Move on, dong.”
Kuputuskan untuk melempar senyum tipis sambil mengangkat jempol tanda setuju.
“Gitu dong, jangan sampai karena patah hati dunia jadi berakhir. Ya, nggak?” Aku sedang tidak bergairah untuk membahas patah hati panjang lebar. Kutarik kursi di hadapanku dan langsung duduk, menunggu hal selanjutnya yang akan disampaikan Mbak Rosma.
“Div, aku serius deh. Kamu lagi sakit? Kok diem aja, sih? Kayak baru kenal aja.”
Aku tersenyum.
“Nggak, Mbak, saya cuma lagi pusing aja. Tulisan yang kemarin kan harus aku setor malam ini, tapi masih banyak banget yang belum sempat kubaca referensinya.”
“Oh. Ada yang bisa kubantu?” tanyanya.