Aku sudah menguap berkali-kali, belum menemukan satupun yang menarik dari acara demonstrasi ekstrakurikuler pesantren. Penampilan mereka memang baru di duniaku, mungkin ini yang membuatku tidak tertarik.
Aku tidak pernah tahu ada yang namanya seni banjari. Mereka menyanyi, aku kurang mengerti, apakah lagu yang mereka nyanyikan itu lagu pop atau lagu pujian karena bahasa yang didendangkan adalah bahasa Arab. Aku tidak begitu tahu bahasa Arab, aku hanya tahu dasar-dasarnya, baca Quran saja aku tidak bisa, aku hanya mampu baca Iqra 1, itu pun masih terbata-bata. Belum lagi alat musik yang menurutku sangat berisik dan membuat gendang telingaku rusak. Mereka memainkan alat musik itu dengan cara memukulnya berkali-kali dengan telapak tangan kosong, mirip gendang tapi bentuknya bundar dan gepeng. Aku kira nada yang dihasilkan berasal dari gemercik besi atau kuningan di pinggir-pinggirnya, dan itu yang membuatnya sangat berisik. Namun aku suka suara vokalisnya yang merdu, sampai aku mengantuk meski suasana sangat riuh ramai. Para penonton sangat antusias. Mereka bertepuk tangan sangat keras mengalahkan suara vokalisnya. Pembawa acara mengatakan bahwa grup banjari Pesantren Darul Hikmah ini telah menjuarai berbagai ajang perlombaan dan cukup diminati di kalangan santri. Sementara aku tidak menemukan satu pun alasan untuk ikut ekstrakurikuler tersebut.
Di sekolahku yang sebelumnya, menyanyi ya menyanyi, menggunakan penggiring alat musik pada umumnya seperti piano, gitar, drum, seruling, dll macam orkestra, band atau paduan suara. Kalau tidak berbahasa Inggris ya berbahasa Indonesia. Lagu-lagunya pun aku tahu dan cukup familier di telinga.
Jika acara demonstrasi ini tidak wajib dan tidak ada hukuman bagi yang bolos, aku tidak akan ikut, lebih baik tidur saja di kamar yang kurang nyaman. Sialnya, aku akan membersihkan toilet bersama jika sampai kedapatan alpa. Namanya toilet bersama, kadang ada yang kurang sadar diri, sampai berak pun tidak disiram. Aku sudah berniat membolos, siapa tahu aku bisa lolos dari hukuman karena tidak ketahuan alpa. Aku mencoba trik jitu dengan masuk ke dalam tumpukan baju kotor di atas lemari, namun baru saja hendak naik lemari, pengurus pesantren sudah menyuruhku turun dan segera bergegas ke aula padahal aku selalu berhasil mencoba trik ini, terutama ketika pengurus membangunkan santri untuk salat Subuh dan mataku masih terasa berat untuk melek.
Di aula besar inilah sekarang aku berada. Sedari tadi aku duduk, aku belum mengenalkan diriku pada para santri yang duduk di sebelahku. Anak-anak santri mudah sekali bergaul, dan mereka juga gampang untuk menanyakan asal-usul orang yang baru ditemuinya. Aku sudah semingguan berada di pesantren ini, dan aku belum pernah sekalipun memulai perkenalan. Karena hal ini pula, aku tidak (atau belum) menemukan teman dekat, sedekat aku dengan gengku di sekolah sebelumnya.
Dia adalah Andre, santri baru sama sepertiku dan dia duduk di sebelahku, dia yang mulai mengajakku berkenalan. Aku meresponsnya dan kami bercerita, mengabaikan unjuk gigi pegiat ekstrakurikuler di panggung besar di depan. Dia sebenarnya mirip denganku (tidak seratus persen mirip sih).
Menurut penuturannya, Andre belum pernah hidup di lingkungan pesantren. Dia bersekolah di sekolahan negeri biasa dengan pelajaran agama yang menurut pendapat pribadiku sudah cukup banyak porsinya. Apalagi dia bercerita bahwa di daerah tempat tinggalnya, para pelajar wajib ikut Taman Pendidikan Al Quran (TPA) bagi mereka yang beragama Islam jika ingin mendapatkan ijazah formal. Aku kaget mendengar fakta tersebut. Jika mereka tidak berhasil lulus dari TPA, mereka wajib mengulang ujian berkali-kali sampai dinyatakan lulus oleh guru ngaji dan jika mereka tidak lulus mereka tidak akan mendapatkan ijazah formal. Jika mereka tidak mendapatkan ijazah formal mereka tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Menurutku Andre tentu tidak akan sekaget diriku. Banyak pelajar berhijab di sekolahan negeri, sementara di sekolahku sebelumnya, pelajar yang berhijab hanya satu dua. Banyak pula pelajar di sekolahan negeri yang berpakaian sopan dan rapi karena peraturannya memang begitu sedangkan di sekolahku sebelumnya tidak ada aturan sopan dan rapi, bahkan celana atau rok seragam kami pendek, sebuah hal yang tidak lumrah terjadi di sekolahan negeri, lebih-lebih di lingkungan pesantren.
Di pesantren, semua padu dalam satu aturan, memakai sarung dan peci bagi laki-laki, dan memakai rok panjang dengan jilbab bagi perempuan. Tidak ada pakaian ketat, rok di atas lutut atau celana pendek di pesantren. Bahkan ruang kelas, asrama, dan segala kegiatan antara laki-laki dan perempuan dipisah. Ini benar-benar baru bagiku, sedangkan Andre, dia bercerita bahwa meski dia bersekolah di sekolahan negeri (belum pernah tinggal di pesantren), dia masih bisa menyesuaikan diri dengan budaya pesantren.
Aku melihat Andre mengantuk, ia sama sepertiku, merasa bosan. Demonstrasi ekstrakurikuler pesantren ini tidak ada yang menarik perhatiannya, sampai pertunjukkan silat hendak tampil, mood-nya berubah. Ia seperti menemukan harta karun yang selama ini ditunggu-tunggu olehnya.