Multiverse Love

Surya Nadendra
Chapter #2

Hari Senin

September 2014.

Hari Senin, hari yang tak disukai sebagian orang. Aku awalnya biasa-biasa saja, sampai ikut-ikutan tak suka karena semua teman-temanku tak menyukai hari ini.

Kehidupanku sebagai murid jurusan IPA memanglah begitu hangat, menghangatkan kepala maksudku. Setelah kaki sudah tidak kuat lagi berdiri untuk mengikuti upacara bendera—mau pura-pura pingsan juga takut tertawa sewaktu diangkat, matematika, fisika dan kimia adalah mata pelajaran setiap hari Senin yang siap menghujani kepalaku dengan angka, dan kata-kata penyejuk pikiran ala Michael Faraday. Namun, hari itu aku sangat beruntung, karena tidak perlu menjalani rutinitas ala murid Einstein. Aku mendapat keberuntungan karena ketidakberuntunganku, aku terlambat!

Malam sebelumnya, aku keasikan menonton film. Temanya tentang dunia paralel, seru sekali! Sambil menonton, sesekali aku membayangkan diriku pergi ke dunia paralel. Dalam imajinasiku itu, aku adalah seorang putri di sebuah kerajaan seperti di film. Itu membuatku lupa waktu dan akhirnya tertidur begitu saja di depan laptop yang masih menyala.

Sinar mentari samar-samar menembus awan mendung yang mendekap langit Denpasar pagi itu. Kubuka mataku secara perlahan dan menikmati setiap regangan tubuhku seraya menguap. Kuambil handphone untuk melihat waktu, pukul 07.17 WITA!

Aduh! Darahku melesat menuju ujung-ujung tubuhku guna membawa oksigen dan energi untuk membuatku segera tersadar sepenuhnya. Alarm yang kubuat semalam dan akan berdering setiap 5 menit selama 15 kali itu, telah mencoba membangunkanku. Iya, 15 kali! Jika ia adalah manusia, mungkin saja sudah meneriakiku tepat di telinga. Bangun...!

Mandi gak ya? Gak usah deh.

Aku kemudian menuju kamar mandi yang jaraknya beberapa langkah lebar dari kamarku, hanya untuk mencuci muka. Setelah itu, cepat-cepat aku pakai seragam dan langsung bergegas menuju sekolah.

Dari kejauhan kulihat satpam sekolah perlahan menutup gerbang. Menyadari harapanku yang telah tertutup, aku memelankan tempo langkahku dan bergabung bersama murid-murid lain yang juga terlambat.

"Naura! Berdiri di sana," kata Pak Surya yang menyuruhku berdiri di sebelah kiri, tempat murid terlambat yang telah dicatat namanya.

Pak Surya adalah guru yang baik dan ramah. Kebetulan saja waktu itu dia bertugas piket untuk mengawasi murid-murid yang terlambat. Raut mukanya itu tak akseptabel untuk terlihat garang.

Agak kesal, bukan pada Pak Surya, akan tetapi pada diriku sendiri. Seingatku, aku tidak pernah terlambat sebelumnya. Sekarang aku harus berdiri bersama anak-anak nakal yang sering terlambat dan bolos sekolah.

Duh ... gara-gara menonton film semalam! Ibu dan bapak juga sedang menginap di rumah nenek—nenek dari ibuku, jadi tak ada yang membangunkanku.

Aku terus memalingkan wajah menyembunyikan rasa malu, kemudian menundukan kepala memandangi sepatuku yang—

"Sepatumu tertukar ?" tanya Pak Surya. Wajahnya sedikit memerah dan tangannya bergerak menutup mulut mencoba menahan tawa.

Baru saja kusadari sepatuku ternyata tertukar sebelah dan di saat yang sama, Pak Surya juga!

Ia memang mengatakan itu dengan pelan, namun anak-anak nakal itu mendengarnya dan menertawaiku.

Sepatu yang kupakai pantofel semua, tapi yang satu warna coklat dan satunya warna hitam. Dunia seakan meluntur, wajahku terasa tebal karena darah seakan menggumpal di sana. Dengan kepanikan yang melanda, aku mencoba memberi alasan semampu benakku saat itu.

"Gini ... Mm ... Soalnya tadi sepatu saya basah ... yang satunya. Jadi, saya pasangkan dengan sepatu lain."

Bodoh!

Setelah mengatakan itu, langsung kututup mataku rapat-rapat, wajahku merut dan tanganku mengepal erat di samping badanku, karena sadar alasan itu hanya akan memperburuk keadaan.

Pak Surya yang tadi mencoba menahan ketawanya, kini ikut tertawa. Bahak mereka bak petir menyambar. Langit serasa runtuh menimpaku, saking malunya.

Akhirnya aku berinisiatif pulang. Diizinkan atau tidak, aku tetap pergi. Begitu melewati gerbang sekolah, tak kudengar lagi suara tawa mereka. Sedikit penasaran, aku berhenti dan menoleh mereka yang juga tiba-tiba menolehku, dan kembali menertawaiku. Memang, kapan lagi kan melihat siswi teladan berlaku konyol seperti ini? Langsung saja kubalikan badan dan meneruskan berjalan.

"Naura ...." Pak Surya memanggilku, pasti dia merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Aku berhenti dan sekali lagi menoleh ke arahnya.

Jika dia meminta maaf, maka akan kubalikan badan dan tidak akan menghiraukannya.

"Cepat ya, usahakan kembali sebelum jam belajar tatap muka dimulai."

Eh? Kok tidak meminta maaf?

"Iya, Pak! Makasih!"

Lihat selengkapnya