Dengan segala pikiran negatif yang membebani kepalaku, membayangkan bagaimana riuhnya teman-temanku besok, juga tentang hari ini yang begitu menyebalkan. Akhirnya kuputuskan pergi keluar untuk menenangkan diriku.
Ini bulan September, sudah musim penghujan. Bunga-bunga sakura itu pasti telah bermekaran. Walau sebenarnya itu adalah pohon bungur yang mirip dengan pohon bunga sakura di Jepang. Beberapa juga ada pohon tabebuya. Periode Juli - Agustus, pohon-pohon ini akan mengalami gugur daun, setelah itu barulah mulai berbunga dan berguguran, itu sungguh indah. Jadi kuanggap saja itu adalah pohon sakura, mirip sekali. Kalau mau ke Jepang juga uang dari mana? Walau itu adalah salah satu negara favoritku untuk kukunjungi nanti, kalau sudah kaya.
Malam itu, hujan baru saja reda, namun, masih menyisakan sedikit gerimis. Kuambil payung merah kesukaanku lalu pergi keluar. Aroma khas petrichor itu mulai membelai reseptor olfaktori di hidungku, dan menyesaki paru-paruku yang seketika membuat suasana jadi begitu mellow. Aku sangat senang dengan aroma ini, serasa ingat kenangan-kenangan bahagia dulu, entah apa itu.
Aku berjalan di atas genangan air kecil yang baru saja terbentuk, sambil menyapu bunga-bunga merah jambu yang berguguran itu dengan kakiku. Aku begitu menikmati jalan pikiran dan perasaanku yang damai, sampai tidak menyadari kalau hanya aku yang ada di sana. Aku seperti terhipnotis oleh suasana yang begitu ingin semua orang untuk menikmatinya. Aku sangat terpengaruh dan turut mengalir bersama perasaan bahagia yang teruntai dalam setiap langkahku.
Kemudian aku memandangi objek-objek yang jauh di sekeliling, oh, ternyata aku sedang sendiri.
Eh? Sendiri?
Semua suasana damai dan mellow itu berubah menjadi degupan dada yang tak karuan. Aku mulai khawatir akan berbagai hal yang mungkin saja bisa terjadi.
Tumben taman ini sepi? Penikmat petrichor itu pada kemana? Apakah semua sudah beralih menjadi penikmat senja?
Sebenarnya tidak ada yang salah, banyak kendaraan lalu-lalang. Tapi, firasatku mengatakan kalau akan terjadi sesuatu, entah itu apa.
"Penculik ?"
Mungkin saja.
"Tenang, gak ada penculik. Nikmati dulu suasana ini."
"Pasti penculik!"
Roh dalam kepalaku kembali menunjukan eksistensi-nya, bahkan kali ini ada dua! Seakan aku hanya menjadi orang ketiga antara perdebatan mereka. Lalu kulihat jam di handphone-ku menunjukan pukul 21.22 malam.
"Cepat pergi!"
Oke!
Kuturuti saja saran salah satunya. Kubalikkan badanku dan mulai melangkah, berlari kalau perlu, berteriak? Ah nanti saja.
Semakin kupercepat langkahku, kenapa situasi juga semakin mencekam?
Oke, berlari, ini saatnya lari.
Baru kupercepat ayunan kakiku, aku menyadari seseorang berjalan di belakangku. Aku sangat takut, suara langkah kakinya dipercepat mengikuti langkah kakiku.
Berteriak, ini saatnya aku berteriak. "........"
Eh? Enggak ada suara?
Tiba-tiba orang itu meraih tanganku. Darahku melesat ke ubun-ubun dan memaksa indraku untuk mencapai potensi maksimalnya.
"Aaaaaaa...!!" Teriakan kedua akhirnya keluar dan tentu berbunyi.
Dengan panik ia mendekap mulutku. "Sssttt! Jangan teriak!" bisiknya.
Dari suaranya, dia pasti seorang lelaki.
"Penculik, yakin. Pasti penculik!"