Munajat Cinta

Julia Rosyad
Chapter #1

Keping 1

Senja menyapa. Warna keperak-perakan yang membias di langit Kartasura menandakan waktu Maghrib segera tiba. Seperti biasa, Jamaah yang terdiri dari para penduduk mukim sekitar pondok juga para santri, ikut berbondong-bondong menuju masjid. Canda tawa mengiringi setiap langkah mereka. Bersuka cita menyambut panggilan-Nya. Beberapa di antara mereka terlihat saling berebut air wudhu, Ali tersenyum saat melihat semua momen penuh keakraban itu terlukis nyata di depan mata. 

Melihat semuanya, lagi-lagi pemuda dewasa itu tersenyum. Sungguh Ali teramat bersyukur atas semua karunia Allah yang melimpah tiada henti. Terlebih ketika matanya menangkap sebuah Maha Karya Tuhan, Raja dari segala Raja alam semesta yang telah menciptakan senja dengan begitu eloknya.

Fabiayyi aalaa'i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan

Deras hati Ali melantunkan penggalan ayat dari surat Ar-Rahman itu dengan penuh haru. 

Pesantren Darussalam. Pondok inilah rumahnya. Bagi Ali tempat ini sudah menjadi bagian dari dirinya. Menjadi rumah tempat bernaungnya. Tepatnya sejak usia Ali baru menginjak sebelas tahun. Sejak saat itulah, kekelaman dalam hidupnya pun menghilang seiring datangnya uluran tangan Beliau—Kyai Ikhyan—yang baik hati telah sudi membawanya ke sini. 

Suara Adzan berkumandang. Pemuda pemilik bulu-bulu halus di kedua rahanganya itu sudah terlihat tampan dengan balutan baju koko dan kain sarung itu pun segera beranjak menuju masjid. Kopiah yang digenggam segera dikenakannya. Sempurna. Itulah penilaian untuk penampilan Ali yang membuat lelaki jangkung itu terlihat semakin berkharisma. Tak heran, itulah sebabnya, mengapa Ali kerap jadi perhatian para santri putri, juga jamaahnya ketika ia harus mengisi pengajian rutin di masjid pondok atau pun di kampung sebelah yang tidak jauh dari pesantren.  

Sebenarnya Ali merasa risih saat dirinya terus menerus jadi perhatian. Ditambah lagi banyak para jamaah ibu-ibu yang kerap memberi candaan seolah-olah meminta Ali untuk mau menjadi mantu. Tak hanya itu, bahkan tak sekali, dua kali, Ali mendapati beberapa pasang mata santri putri yang kerap mencuri pandang ke arahnya. Kendati demikian, itu tidak membuat Ali berbangga diri. Keramahan serta sopan santunnya senantiasa menjadi perhiasan dalam dia bersikap.

Mengenai pinangan yang terlontar secara tak langsung dari para jamaahnya pun hanya Ali tanggapi dengan senyuman. Ia tak berani jika terlalu serius menanggapi permintaan jamaahnya itu. Karena Ali pikir, bisa saja itu hanya sebagai candaan karena statusnya yang masih melajang. Lagi pula Ali belum terlalu fokus memikirkan hal pernikahan. Bukan karena dia pemilih, tapi lebih tepatnya, sampai saat ini Ali merasa belum ada seorang pun yang mampu menggetarkan hatinya. Lagi pula Menurutnya, pernikahan itu bukan cuma sekadar ajang untuk mengugurkan status lajang, melainkan sebuah ikatan suci di mana jalinan itu adalah sebagai penggenap separuh iman dan jalan ibadah menuju keridhaan Allah.

Dulu, kehidupan Ali jauh dari kata sempurna. Satu kisah pekat pernah melingkupi hidupnya. Mungkin jika bukan karena lingkungan dan banyaknya ilmu yang kerap ia dapatkan dari orang-orang shalih disekelilinginya, tidak lah mungkin dia bisa seperti sekarang ini. Maka dari itu dia patut bersyukur bahkan sangat sadar, bahwa semua yang terjadi pada dirinya sudah dirancang Allah dengan penuh sempurna. Susah dan senang dalam kehidupan adalah sunatullah. Tidak ada yang sempurna di dalam kehidupan fana ini melainkan hanya Allah yang Maha Kekal. Berkat keyakinan itulah, Ali bersyukur, dia masih ingat pada nasihat yang kerap ia dapat dari Abah.

"Ingatlah, Li ... Terkadang, ketika semua orang menjauh dari kita, mungkin itulah cara Allah menghindarkan kita dari orang-orang yang menghambat proses kita untuk lebih baik dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kita ndak usah mengkhawatirkan yang sejatinya tak perlu dirisaukan. Bukankah kamu juga tahu bahwa ketika Allah mengambil sesuatu dari kita, itu tandanya Allah sudah siapkan gantinya yang lebih baik dari sebelumnya."

Tanpa terasa, waktu pun terus bergulir. Senja kian membakar langit. Cahaya perak yang tadi membias memenuhi langit telah berubah menjadi keunguan seiring dengan kumandang Adzan dari rumah-rumah Allah. Lelaki berperawakan jangkung, berjanggut tipis itu pun bersiap. Melangkah demi menunaikan kewajibannya. Satu per satu tangga menuju masjid baru saja dipijaknya. Namun tepat kakinya berpijak di tangga ke tiga, mendadak langkah itu terhenti karena suara seseorang di belakang menyerukan namanya.

"Ustadz Ali, Ustadz ... Tunggu!"

"Rizal?" gumam hati Ali seraya melihat ke arah pemuda yang menghampirinya. 

Rizal ialah seorang santri yang Ali kenal masih duduk di bangku Aliyah. Pemuda kelas tiga yang menjadi salah satu pengurus santri di pondok. Melihat kepanikan Rizal jelas saja Ali merasa heran. Belum sempat Ali bertanya, Rizal sudah lebih dulu berbicara. 

"Maaf, us-tadz ...." pemuda itu berhenti di depannya sambil berusaha mengatur napasnya.

"Ada apa, Zal?" Ali mencoba tetap tenang meski dirinya pun merasa heran. 

Pemuda berkulit kecokelatan itu tidak langsung menjawab. Dia nampak sedikit kewalahan dengan napasnya naik turun. wajahnya penuh kepanikan. Pemuda itu membungkuk seraya kedua tangan memegangi lututnya. Tak lama Rizal pun mendongak, menghadap wajah sang Ustadz yang cukup dikenalnya.

"Anu, Ustadz." Rizal masih ngos-ngosan. "Abah," imbuhnya lagi.  

Ali terdiam sejenak. Ada perasaan tak enak merayap, menelusiri hatinya. "Ada apa sama Abah, Zal?" tanya Ali. 

"Ndak tahu, Ustadz. Tapi tadi Ummi pesan sama saya, katanya Abah minta Ustadz jadi pengganti Abah imami jamaah Maghrib. Terus ... Ummi bilang, Ustadz juga ditunggu di rumah nanti, setelah salat Maghrib."

Ali tertegun. Perasaannya mulai tak enak. Tidak biasanya Abah tidak datang untuk mengimami salat, kecuali jika ada alasan penting. Ada apa dengan Abah? Begitu tanya hati Ali setelah ia menerima mandat yang disampaikan Rizal dari Ummi. Kendati demikian, Ali segera menepis pikiran buruk yang tiba-tiba menghantui. Ali pun

tersenyum sambil mengelus punggung pemuda tanggung di depannya demi menyamarkan kecemasan dalam hatinya.

"Ya sudah, terima kasih. Insya Allah, nanti saya akan segera bertandang ke rumah Abah."

"Ya, sama-sama, Ustadz." Rizal mengangguk hormat.

"Ya sudah, ayo, naik. Sudah maghrib. Kamu sudah ambil air wudhu?"

"Belum, Ustadz."

"Ya sudah, kamu ambil wudhu ... Terus kita siap-siap berjamaah salat Maghrib. Jamah sudah pada kumpul."

Rizal hanya mengangguk patuh, berjalan mengekor di belakangnya menuju masjid.

***

Seperti pesan yang diterima, selepas salat Magrib Ali Segera menemui Kyai Ikhyan, Abahnya. Namun baru saja Ali turun dari tangga teras masjid, suara Wildan terdengar menyapanya lebih dulu. 

Lihat selengkapnya