Mungkin Esok Aku Mati

widya erliana
Chapter #2

Bab 2: Mama

Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?

Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, berharap mereka bisa memberiku kabar, namun mereka hanya membaca pesanku tanpa membalasnya. Tiga hari telah berlalu, dan aku masih terjebak dalam ketidakpastian yang menguras energi dan pikiranku.

Pikiranku terpecah, dan aku semakin kesulitan berkonsentrasi dalam kuliah. Selama dua hari terakhir, aku merasa seperti ada yang hilang. Setiap kali aku memikirkan rumah, aku merasa semakin jauh dari mereka. Setiap panggilan telepon atau video call yang gagal membuat perasaan cemas itu semakin mencekam. Apa yang sedang terjadi? Kenapa semua komunikasi begitu sulit?

Hingga suatu hari, saat kuliah sedang berlangsung, ponselku bergetar di dalam tas. Aku memeriksanya sejenak, lalu kulihat nama yang muncul di layar: Sandy. Aneh sekali. Biasanya, Sandy jarang sekali menghubungiku melalui pesan atau telepon. Aku merasa ada yang berbeda.

Setelah kuliah selesai, aku menuju taman kampus yang lebih sepi, mencari tempat untuk membaca pesan-pesan tersebut. Aku memilih tempat yang lebih tenang, di bawah pohon besar yang sudah mulai menggugurkan daun-daunnya. Aku duduk di bangku taman, mengambil ponsel, dan membuka pesan-pesan itu. Seketika, rasa penasaran memenuhi pikiranku.

(Zara sayang)

(Apa kabar?)

Aku tahu, itu pasti Mama. Sandy tidak pernah memanggilku dengan sebutan seperti itu. Aku terus membaca pesan-pesan berikutnya, yang berisi permintaan maaf dari Mama. Rasa cemas dan kekhawatiranku semakin besar seiring membaca setiap kalimat yang dikirim.

(Sekali lagi Mama minta maaf. Handphone Mama diambil Papa, nggak tahu disimpen di mana. Papa juga ngelarang Mama, Sandy, dan Marcell buat ngehubungin kamu.)

(Papa kenapa jadi begini, Mama? Ada masalah apa sih?)

Pesan dari Mama itu membuat perasaan cemas semakin meningkat. Aku merasa terkejut. Kenapa tiba-tiba Papa begitu marah? Apa yang terjadi pada mereka di rumah? Kenapa mereka tidak memberitahuku apa-apa sebelumnya?

(Kamu jangan marah sama Papa. Mama ngerti banget Papa kamu lagi pusing beberapa bulan terakhir ini.)

(Pusing kenapa?)

Lihat selengkapnya