Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #1

Gadis Berambut Sebahu Itu

Kamu tahu bahwa di dalam siklus kehidupan, kamu akan dihadapkan pada banyak sekali pilihan. Hanya akan ada satu pilihan yang barangkali bisa membawamu pada sebuah keberhasilan, sementara belasan atau bahkan puluhan pilihan lainnya hanya akan membawamu pada kegagalan-kegagalan yang menyakitkan dan jalan buntu. Meski demikian, kamu percaya bahwa jalan hidup tidak selamanya mulus. Kadang berkerikil dan melukai kakimu. Tapi, kamu tahu kamu tidak boleh berhenti dan harus tetap tegar melangkah. Semakin banyak masalah dan kegagalan yang kamu hadapi, maka akan semakin mendewasakanmu. Kamu pun paham bahwa itulah hakikat kehidupan yang sesungguhnya: bahwa di akhir banyaknya kegagalan, akan ada keberhasilan yang menyambutmu dengan tangan terbuka. Sementara pilihan yang barangkali kamu pikir terbaik bagimu, belum tentu demikian menurut semesta. Kamu tentu akan kecewa pada awalnya, tetapi pada akhirnya kamu akan mengerti dan menemukan jawaban hakiki di balik rasa pahit yang kamu alami.

***

Satu hari setelah kamu resmi diwisuda, perusahaan yang selama tiga tahun ini sudah memberi beasiswa dan menanggung seluruh biaya perkuliahan, menempatkanmu di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di pelosok Kota P. Kamu pikir semuanya akan baik-baik saja. Toh, ini bukan kali pertama kamu merantau dan jauh dari kampung halaman. Sebelum pada akhirnya kamu diempaskan kenyataan setelah pesawatmu mendarat di bandara tujuan, dilanjut belasan jam perjalanan menggunakan bus, hingga kini kamu berdiri tepat di tepi sebuah dermaga kayu reyot yang beraroma asing. Kamu bisa menghirup aroma lapuk dari tiang-tiang penyangga dermaga yang setengah miring dan terendam air tersebut. Jika bisa kamu ibaratkan, dermaga tempatmu berada kini adalah sosok pesakitan renta yang ringkih dan hanya menanti ujung usia tetapi masih tetap dipaksa untuk berdiri kokoh. Karena perumpamaan itu, kamu malah berubah murung. Sebab, beberapa pekan sebelum kamu diwisuda, bapakmu yang memang beberapa tahun belakangan sudah mulai sakit-sakitan, kembali menghadap Sang Pencipta. Padahal beliau pernah berjanji akan hadir dan menggenggam erat tanganmu di acara kelulusanmu tersebut. Tapi, apa boleh buat, manusia hanya bisa berencana, sementara takdirlah yang tetap akan selalu jadi pemenangnya.

Sebuah kapal tongkang pengangkut barang melintas tidak jauh di hadapanmu. Seketika, dermaga tempat kamu berpijak digoyang ekor ombak. Saking paniknya, kamu segera mundur beberapa langkah, lalu menghela napas panjang di hadapan sebuah sungai ternama yang selama ini hanya pernah kamu lihat di layar televisi. Sungai itu membentang begitu lebar. Bahkan menjadi salah satu sungai terpanjang di Indonesia. Arusnya yang terlihat deras dengan air berwarna agak kemerahan, sukses membuat bulu kudukmu sedari tadi merinding. Seolah-olah kedalaman sungai tadi menyimpan begitu banyak makhluk-makhluk menakutkan yang bisa menerkam kakimu dari bawah. Sungguh, kamu telah dimakan beragam pikiran burukmu sendiri. Kamu lantas menyesali keputusanmu untuk browsing mengenai lokasi penempatanmu sehari sebelum keberangkatan, mengenai sungai-sungai yang dipenuhi buaya dan ikan tapah yang acap menelan kaki-kaki nelayan.

“Pak, nama nuan dituk?[1]. Ayo naik.” Suara seorang operator kelotok[2] yang sengaja diutus perusahaan untuk menjemput, memecah lamunanmu.

Kamu pikir dua belas jam perjalanan yang telah kamu lalui dengan menggunakan bus yang knalpotnya berasap pekat dan atap sedikit berlubang karena karat sudah cukup menjadi penderitaan tersendiri. Belum lagi busa tempat duduknya kempes, hingga jika roda bus masuk ke dalam lubang, tulang pantatmu akan beradu dengan besi alas. Sungguh semuanya berhasil menjadi pengalaman baru bagimu yang belum pernah merantau sampai luar pulau. Selama ini perjalanan terjauh yang pernah kamu tempuh hanyalah menggunakan angkutan umum antarkabupaten dan hanya memakan waktu dua jam perjalanan.

Entah berapa kali kamu harus menahan napas akibat kelakuan sopir bus yang ugal-ugalan. Belum lagi jalan yang harus kamu lalui kemarin terbilang sempit. Kamu ingat bahwa kemarin bus meluncur dari parkiran bandara di ibukota provinsi pukul lima sore. Lantas ketika kamu terlelap saking lelahnya, kamu dipaksa terbangun karena mendengar suara benturan benda keras. Kamu panik, tetapi penumpang lain biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena penasaran, kamu pun mencoba bertanya pada seorang penumpang bapak-bapak berwajah lokal.

“Barusan suara apa, ya, Pak?”

Lelaki paruh baya yang duduk di sebelahmu itu pun tersenyum sebentar, lalu menjawab dengan bahasa Indonesia yang terdengar kaku. Kamu maklum, sebab barangkali beliau lebih terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dan sengaja menggunakan bahasa Indonesia hanya karena ia tahu kamu berasal dari pulau seberang.

Lihat selengkapnya