Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #1

Gadis Berambut Sebahu Itu

Satu hari setelah kamu resmi diwisuda, perusahaan yang selama tiga tahun ini sudah memberi beasiswa dan menanggung seluruh biaya perkuliahan, menempatkanmu di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di pelosok Kota P. Kamu pikir semuanya akan baik-baik saja, sebelum kamu pada akhirnya diempaskan kenyataan setelah kamu kini berdiri tepat di tepi sebuah dermaga kayu reyot. Sisi kanan dermaga bahkan sudah lapuk dan miring terendam air.

Kamu menghela napas panjang di hadapan sebuah sungai ternama yang selama ini hanya pernah kamu lihat di layar televisi. Sungai itu membentang begitu lebar. Bahkan menjadi salah satu sungai terpanjang di Indonesia. Arusnya yang terlihat deras dengan air berwarna agak kemerahan, sukses membuat bulu kudukmu merinding. Seolah-olah kedalaman sungai tadi menyimpan begitu banyak makhluk-makhluk menakutkan yang bisa menerkam kakimu dari bawah. Sungguh, kamu telah dimakan beragam pikiran burukmu sendiri. Kamu lantas menyesali keputusanmu untuk browsing mengenai lokasi penempatanmu sehari sebelum keberangkatan, mengenai sungai-sungai yang dipenuhi buaya dan ikan tapah yang acap menelan kaki-kaki nelayan.

“Pak, nama nuan dituk?[1]. Ayo naik.” Suara seorang operator kelotok[2] yang sengaja diutus perusahaan untuk menjemput, memecah lamunanmu.

Kamu pikir dua belas jam perjalanan yang telah kamu lalui dengan menggunakan bus yang knalpotnya berasap pekat dan atap sedikit berlubang karena karat sudah cukup menjadi penderitaan tersendiri. Belum lagi busa tempat duduknya kempes, hingga jika roda bus masuk ke dalam lubang, tulang pantatmu akan beradu dengan besi alas. Sungguh semuanya berhasil menjadi pengalaman baru bagimu yang belum pernah merantau sampai luar pulau. Selama ini perjalanan terjauh yang pernah kamu tempuh hanyalah menggunakan angkutan umum antarkabupaten dan hanya memakan waktu dua jam perjalanan.

Entah berapa kali kamu harus menahan napas akibat kelakuan sopir bus yang ugal-ugalan. Belum lagi jalan yang harus kamu lalui kemarin terbilang sempit. Kamu ingat bahwa kemarin bus meluncur dari parkiran bandara di ibukota provinsi pukul lima sore. Lantas ketika kamu terlelap saking lelahnya, kamu dipaksa terbangun karena mendengar suara benturan benda keras. Kamu panik, tetapi penumpang lain biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena penasaran, kamu pun mencoba bertanya pada seorang penumpang bapak-bapak berwajah lokal.

“Barusan suara apa, ya, Pak?”

Lelaki paruh baya yang duduk di sebelahmu itu pun tersenyum sebentar, lalu menjawab dengan bahasa Indonesia yang terdengar kaku. Kamu maklum, sebab barangkali beliau lebih terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dan sengaja menggunakan bahasa Indonesia hanya karena ia tahu kamu berasal dari pulau seberang.

“Spion bus kita disenggol bus lawan. Sudah tahu jalanan sempit, tapi bus dari arah depan tidak mau mengalah.” Lelaki itu menjeda sejenak kalimatnya. Kamu pandangi ia yang mencoba menelan ludah dan kamu duga lelaki paruh baya itu sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk melanjutkan. “Ndai[3] usah khawatir. Sudah biasa terjadi. Spion pecah, kadang ekor bus senggolan. Mungkin bagi orang luar akan terdengar aneh.”

Lihat selengkapnya