Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #2

Nama Gadis Itu Miriam

Kamu sering memikirkan perkara jodoh, seperti halnya kamu memperhatikan siang dan malam, bulan dan matahari, serta terik dan hujan yang saling melengkapi. Bertahun-tahun pernah kamu tambatkan seluruh hati pada seorang gadis yang kamu yakini adalah bagian dari tulang rusukmu yang hilang. Faktanya, terlalu percaya pada manusia bukanlah pilihan yang bijak, meski ia adalah sosok yang paling kamu sayang. Sebab, ia yang telah bersumpah akan selalu setia menunggu dan mendampingimu kelak di atas pelaminan, nyatanya malah mengirimkan sepucuk undangan. Kamu koyak undangan itu, bersama hatimu yang seketika retak. 

***

Kamu pikir kamu akan gemetar setengah mati di dalam kelotok yang melaju memecah deras arus. Apalagi kendaraan yang kamu tumpangi itu sesekali terombang-ambing ketika menghadap ombak atau sekadar berpapasan dengan kendaraan air lainnya. Jika kamu diibaratkan telur, maka kamu seperti sedang berada di ujung tanduk. Oleng sedikit, kamu akan pecah. Diempas ombak kecil, kamu akan langsung karam dan tenggelam. Meski segala pikiran buruk telah mondar-mandir dan berkelindan di dalam tempurung kepala, namun kamu berusaha untuk tetap tenang. Walau berat, rasa takut yang sempat menyelimuti coba kamu abaikan. Sebab, kamu memang tidak punya pilihan lain selain ikut berlayar mengarungi panjang sungai berarus cukup deras. Apalagi di dekatmu—di antara sekumpulan penumpang lain—gadis yang sempat menyelamatkanmu di dermaga tadi ikut membersamai. Ketakutan lebih bisa kamu tekan ketimbang rasa gengsi serta malu jika terlihat menjadi seorang pengecut di hadapannya. Untuk mengalihkan ketakutan-ketakutan tadi, kamu mencari-cari hal menarik yang bisa kamu amati. Hingga setelah pikiranmu jernih, kamu pun akhirnya tahu kalau kelotok adalah satu-satunya alat transportasi dari lokasi perusahaan perkebunan ke kecamatan untuk berbelanja beragam kebutuhan. Terbukti dengan banyaknya kantong belanjaan yang tergeletak di lantai kayu kelotok, di bawah kaki-kaki penumpang yang sebagian besar merupakan ibu-ibu.

Kamu ingat, berdasarkan informasi dari sang operator atau pengemudi kelotok bahwa perjalanan mengarungi sungai beraliran agak kemerahan ini akan menghabiskan waktu satu jam. Rasa kantuk mulai menjalari pelupuk mata. Berkali-kali kamu menguap. Bahkan beberapa penumpang lain sudah larut dalam lelapnya masing-masing. Tapi, sial, setiap kali kamu memejamkan mata, sosok perempuan berparas manis yang hanya berjarak beberapa depa dari tempatmu duduk di dalam kelotok terus membayang. Kamu ingin sekali berbasa-basi dengannya. Namun kamu terlalu takut untuk membuka percakapan. Apalagi kamu memang tidak pernah mahir mencari topik yang menarik untuk membuka pembicaraan dengan sosok asing. Alhasil, perjalanan panjangmu hanya diisi dengan suara ‘tok-tok-tok’ nyaring yang berasal dari deru mesin kelotok di bagian tengah, menjadi area yang paling dihindari penumpang dan terasa cukup panas. Pengap tersebab asap pekat yang bocor dari celah cerobong berkarat.

Perihal cinta, kamu pikir setelah kekecewaan tempo lalu, kamu tidak akan pernah bisa jatuh hati pada perempuan lain. Hatimu seperti memasang perisai, hingga tidak akan sedemikian gampangnya untuk terbuka atau diterobos seenaknya. Kamu tentu belum lupa rasa pahit dan patahnya ketika dahulu kamu mendapati keputusan untuk tidak melanjutkan hubungan dari seorang gadis yang sempat kamu anggap sebagai belahan jiwa. Kenangan itu tentu saja masih segar di ingatan. Setelah bertahun-tahun kamu percayakan hatimu pada perempuan yang kamu anggap tepat, nyatanya ia tidak lebih dari seorang pengkhianat. Kepercayaanmu runtuh melalui sebuah undangan pernikahan gadis itu dengan laki-laki lain. Padahal ia bilang ia hanya meminta sejenak jeda atas hubungan kalian yang katanya mulai hambar. Kamu setuju, karena kamu memang sudah terlalu percaya. Terlalu yakin kepada manusia. Hingga rasa kehilangan setelah pengkhianatan itu seumpama menenggelamkanmu ke dalam lautan kesedihan yang sedemikian dalam. Kamu karam di dasarnya.

Lantas kini, dengan anehnya, di tengah perjalananmu di atas kelotok yang melambat lantaran melawan arus pasang, kamu merasakan getaran yang nyaris sama seperti dulu. Rasa yang sama, namun pada sosok yang berbeda. Tentu saja kamu heran. Kamu mulai menduga-duga bahwa mungkin ini adalah suratan takdir. Semesta barangkali tengah memiliki rencana. Tapi, sekali lagi, tidak segampang itu kamu percaya. Kamu bahkan belum mengenal siapa sosok gadis yang duduk beberapa depa dari tempatmu berada dan sedari tadi mengamatinya. Tidak ingin berandai-andai terlalu jauh, kamu kemudian hanya menggeleng kuat-kuat, berusaha membuang segala pikiran yang semakin kamu sadari tidak masuk akal.

***

Kamu terbangun ketika merasa seseorang menyentuh pundakmu pelan. Kamu pikir dengan bunyi kelotok yang cukup berisik tadi membuatmu tidak akan pernah bisa tertidur. Nyatanya, belum juga sepertiga perjalanan, sepasang kelopak matamu sudah mengatup sempurna. Panjangnya perjalanan yang telah kamu lalui sedari kota asalmu di luar pulau rupanya membuat lelah di sekujur tubuhmu belum mau diajak kompromi.

“Pak, sudah sampai,” ujar operator kelotok membangunkanmu dengan sopan. Suaranya sempat mengingatkanmu pada salah seorang penyanyi country ternama. Ia tersenyum ramah ketika pandangan kalian sesaat saling bersirobok, sementara kamu masih mencoba menelaah di mana keberadaanmu sekarang. Benar kata orang, ketika seseorang baru saja terjaga dari tidurnya, belum semua kesadarannya terkumpul.

Sesaat kamu linglung, sebelum kemudian setelah memperhatikan sekeliling, kamu pada akhirnya sadar kalau baru saja menyusuri sungai terpanjang hingga kelotok yang kamu tumpangi telah tiba di dermaga tujuan. Pohon-pohon bakau tua tumbuh di kiri dan kanan dermaga.

Lihat selengkapnya