Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #3

Permintaan Ibu

Kamu percaya jika jodoh adalah cerminan dari diri. Namun, kamu justru seringkali tidak mengenal dirimu sendiri. Seperti halnya kamu tidak bisa melihat telingamu, keningmu, bahkan punggungmu secara langsung. Hingga banyak hal yang tentu saja perlu kamu diskusikan dengan orang yang jauh lebih mengenal dirimu ketimbang dirimu sendiri: ibumu. Sebab, ia lebih dulu mengenalmu bahkan saat kamu masih di dalam kandungan dan belum menghirup hangatnya udara dunia. Toh, memilih pasangan hidup tidak seperti halnya memenangkan lotre. Kamu harus memilih yang tepat. Bukan asal mencomot dari sembarang tempat. Menikah memang menyatukan dua hati: kamu dan dia. Tapi, ingatlah bahwa menikah juga menyatukan dua keluarga: keluargamu dan keluarganya, orang tuamu dengan orang tuanya.

***

Setibanya di kantor perkebunan yang berada di tengah-tengah hamparan kebun kelapa sawit yang begitu luas, kamu disambut oleh rekan-rekan kerjamu. Kamu kira semua akan diawali dengan kecanggungan. Tapi, ternyata malah sedemikian hangat. Rupanya sebagian besar staf yang bekerja di sana adalah para perantau dari berbagai daerah. Kamu yang semula takut akan kesulitan membaur, kini merasa tidak lagi terbebani dan sendirian. Maklumlah, ini adalah kali pertama bagimu menginjak dunia kerja. Minimnya pengalaman tentu saja membuatmu sempat ketar-ketir.

“Anggap semua yang ada di sini keluarga barumu,” ujar manajer yang dari tampangnya kamu kira garang. Kumis melintang di atas bibirnya yang kecokelatan akibat batang-batang rokok yang rutin ia isap, semakin menegaskan hal tersebut. Namun, seperti kata pepatah ‘don’t judge book by its cover’, maka apa yang terlihat dengan mata belum tentu demikian yang ada di dalam hati. Lelaki yang usianya sudah menginjak pertengahan kepala lima itu nyatanya baik sekali. Menurut informasi yang kamu dapat setelahnya, kamu tahu bahwa beliau sebentar lagi akan pensiun. Sekitar dua atau tiga tahun lagi.

Setelah perkenalan singkatmu dengan manajer dan para staf, kamu lantas diarahkan ke sebuah long house yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor perkebunan. Ada lima kamar yang tersedia di sana dengan satu kamar masing-masing diisi empat orang staf. Kamu diarahkan ke kamar paling ujung, karena memang di sana yang masih tersisa satu ranjang kosong. Kipas angin berukuran besar terpasang di masing-masing langit-langit kamar. Cukup untuk mengusir udara hangat yang memenuhi ruangan.

***

Hari-harimu bekerja di perkebunan berjalan dengan cukup berat. Jabatanmu sebagai seorang asisten lapangan mengharuskanmu menguasai setiap blok kebun yang menjadi tanggung jawabmu. Tentu saja kamu kelelahan setelah setiap hari mengecek kerja para pemupuk, tukang semprot, pembabat anak kayu, dan lain sebagainya. Kamu tahu hal itu wajar, sebab kamu masih berusaha menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan lingkungan baru. Kamu yang seorang fresh graduate, belum punya pengalaman, akan meraba-raba mengenai tugas dan tanggung jawabmu pada awalnya. Sehingga kamu masih butuh banyak masukan dari para senior. Beruntungnya mereka semua menyambutmu dengan tangan terbuka. Pelan-pelan mereka mengajarkanmu tentang tugas pokok dan aktivitas harian yang perlu kamu lakukan setiap hari.

“Apel pagi pukul lima tiga puluh, lalu cek administrasi, dan periksa pekerjaan lapangan di hari itu. Pukul satu istirahat pulang, dilanjut pukul tiga ke kantor untuk pengecekan inputan administrasi divisi[1].”

Kamu yang saat itu masih menangkap setengah-setengah apa yang dijelaskan salah seorang asisten divisi senior, hanya bisa mengangguk-angguk. Kamu sendiri belum tahu apa yang mesti dilakukan di apel sepagi dan segelap itu, juga administrasi apa yang dimaksud. Tapi, setidaknya kamu sudah punya gambaran mengenai urutan yang perlu kamu lakukan setiap hari di divisi. Meski pada awalnya kamu menganggap tugas dan tanggung jawabmu di perusahaan ini berat dan membuatmu hampir menyerah, tapi kamu pun tahu betapa pentingnya pekerjaan ini bagi masa depanmu dan ibumu yang sebatang kara di kampung halaman sana.

“Gimana tempat kerjamu, Le[2]?” tanya ibumu di suatu malam melalui sambungan telepon. Suaranya lemah dan sesekali terbatuk.

Kamu yang tahu sinyal di tempat kerjamu susah, berdiri tinggi-tinggi di atas pagar long house sembari berpegangan pada salah satu tiang teras. Geser sedikit, kamu tahu bahwa sinyal hilang, dan panggilanmu akan terputus.

“Nyaman, Bu. Masih banyak suara jangkriknya. Sampean mboten usah mikir sing macem-macem, nggih[3].”

Lihat selengkapnya