Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #4

Perahu 2 PK

Ibumu tidak pernah menetapkan kriteria yang macam-macam kepadamu perihal mencari pasangan. Carilah mana pun perempuan yang kamu mau. Ia tidak pernah peduli mengenai miskin atau kaya, anak petani atau pejabat, cantik atau buruk rupa. Hanya saja, beliau selalu berpesan kepadamu untuk mencari pasangan yang patuh dan taat: patuh pada suaminya, serta yang paling utama ialah taat pada agamanya.

***

Pukul 11 lewat. Kamu mengendarai sepeda motormu dengan kecepatan cukup tinggi. Jalanan tanah yang dipenuhi laterit[1] itu kamu terjang begitu saja tanpa memikirkan risikonya. Tujuanmu tentu saja hanya satu: dermaga penyeberangan. Bagaimana tidak, sudah sejak awal kamu diingatkan oleh para staf yang lain jika setiap hari Jumat, seluruh staf yang beragama Islam diperbolehkan istirahat lebih awal di pukul sebelas siang. Pasalnya, di kompleks perkantoran dan tempat tinggal para karyawan kebun, belum terdapat bangunan masjid. Rencananya masjid baru akan dibangun tahun depan bersamaan dengan pembangunan rumah permanen untuk para staf dan pekerja lainnya. Maklumlah, kebun yang kamu tempati saat ini merupakan kebun project yang berfokus pada ekspansi lahan dan penanaman baru. Wajar jika belum memiliki fasilitas lengkap jika dibandingkan perkebunan kelapa sawit yang sudah settle atau sudah panen dan menghasilkan.

Dari manajer yang juga seorang muslim, telah beliau infokan kepadamu jika satu-satunya masjid terdekat berada di desa seberang sungai. Kurang lebih membutuhkan waktu tempuh tiga puluh menit perjalanan menggunakan kelotok. Paling lambat, setiap staf yang ingin ikut berangkat ke masjid wajib tiba di dermaga pada pukul sebelas lebih tiga puluh. Lewat dari itu, bersiaplah untuk ditinggal. Ketimbang ketika kelotok berlabuh di tujuan, salat Jumat justru telah ditunaikan. Sialnya, di minggu pertamamu bekerja ini, kamu nyaris melupakan hal tersebut. Kamu yang masih sibuk menghafal batas-batas antar blok, hampir tersesat. Lahan perkebunan kelapas sawit seluas lebih dari tujuh ratus hektar yang menjadi tanggung jawabmu itu penuh dengan jalanan berliku. Apalagi yang berada di pringgan[2]. Belum lagi jarak divisimu yang memang berada di posisi paling ujung, membuat waktu yang kamu perlukan untuk tiba di dermaga memakan waktu yang jauh lebih lama.

Benar saja, ketika kamu tiba dengan terburu-buru di dermaga, dermaga kayu tersebut kelihatan telah sepi dan kosong. Nyaris tidak ada siapa-siapa di sana, sebelum kemudian kamu menyadari jika ada sesosok perempuan yang tidak asing lagi. Ya, ia adalah Miriam. Gadis itu juga agak kaget mendapati kedatanganmu yang tiba-tiba.

Kamu baru saja hendak membuka mulut ketika Miriam lebih dulu bersuara. “Bapak mau ke masjid?”

Kamu mengangguk. “Iya.”

“Wah, kelotoknya sudah jalan lima menit yang lalu,” ujar Miriam lagi dengan bahasa yang masih begitu baku. Barangkali karena posisimu yang sebagai staf yang membuatnya demikian.

“Ya, mau bagaimana lagi. Saya lupa kalau masjid cuma ada di seberang sana.” Kamu tersenyum kecut, tapi lebih tepatnya mulai putus asa. Sebab, kamu tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menyusul rekan-rekanmu yang lain. Karena menurut rekan-rekan kerjamu kemarin, kelotok adalah satu-satunya fasilitas kendaraan yang disediakan perusahaan untuk sarana transportasi. Itu pun disewa dari masyarakat setempat dan dibayar secara bulanan.

“Bapak mau saya antar ke sana?” tawar Miriam. Matanya yang bulat menatap tepat ke wajahmu.

Kamu balas menatap Miriam dengan penuh tanda tanya. “Kamu punya kelotok?”

Mendengar itu Miriam tentu saja langsung menggeleng sembari terkekeh. Entah sadar atau tidak, kecanggungan di antara kalian seketika mencair. Ia bahkan langsung menggunakan bahasa daerah sederhana yang masih bisa kamu pahami maksudnya. Sebab, selama sepekan ini, kamu sudah mempelajari beberapa kata yang paling umum digunakan oleh masyarakat setempat.

Ndai lah, Pak. Nuan tuk ada-ada ja[3],” katanya dengan logat kedaerahan yang kental.

Lihat selengkapnya