Hidup tidak pernah terprediksi. Tidak ada yang tahu apakah besok kamu akan tertawa atau menangis, sehat atau sakit, bahkan kamu pun tidak pernah tahu esok kamu masih akan hidup dan bernapas atau justru mati. Semua sudah menjadi sebuah rahasia semesta tanpa kode atau sandi. Tidak dapat ditebak, dan tidak pula dapat dipecahkan. Sebab hidup bukanlah perihal kuasa manusia, melainkan anugerah Sang Pencipta yang tidak dapat diganggu gugat skenarionya. Jadi, nikmati dan jalanilah hidupmu. Bisa jadi hari ini kamu sedang merasakan pahit, namun esok kamu akan disambut dengan manisnya gulali kehidupan.
***
Saat hubungan antara perusahaan perkebunan dengan sang kepala desa membaik, begitu juga hubunganmu dengan Miriam yang semakin erat. Namun, di tengah kebahagiaan itu, kabar buruk justru datang dari kampung halamanmu. Ibumu sakit keras, begitu informasi yang kamu dapatkan dari panggilan telepon tetanggamu di kampung halaman.
Rasa cemas dan kekhawatiran tentu langsung menyelimuti hatimu. Tidak ada yang lebih penting daripada keluarga. Apalagi saat ini kamu hanya memiliki ibu yang tengah sakit. Kamu jadi memikirkan hal yang macam-macam. Kamu tentu takut kehilangan sosok perempuan yang amat kamu sayangi itu. Yang kamu tahu bahwa saat itu juga kamu harus segera pulang untuk bisa berada di samping ibumu dalam kondisi yang kabarnya kritis.
Keputusan itu tentu saja membuatmu harus meninggalkan Miriam untuk sementara waktu. Tapi, kamu harus tetap memilih. Meski hatimu telah terpaut pada sosok Miriam, namun tidak ada yang lebih penting ketimbang kesehatan perempuan yang telah melahirkan dan merawatmu di kampung halaman sana.
Kamu segera mengatur perjalanan pulang. Kamu langsung menghadap manajermu dan meminta izin untuk meninggalkan pekerjaan dan rutinitas selama sepekan atau bisa jadi lebih. Semua tergantung pada perkembangan kesehatan ibumu nantinya.
Sebelum kamu pergi, kamu merasa perlu untuk memberi tahu Miriam perihal kondisi ibumu yang kritis tadi. Kamu berusaha untuk menjelaskan situasi yang terjadi dengan jelas dan penuh hati. Kamu berharap agar ia bisa mengerti alasan di balik keputusanmu untuk pulang kampung dan meninggalkan tempat yang telah menjadi rumah sementara bagimu, serta tempat di mana hubungan antara kamu dan Miriam bertumbuh.
Saat kamu bertemu dengan Miriam, kamu langsung mengutarakan rencanamu untuk mengambil cuti. "Aku harus pulang kampung. Ibuku sakit dan aku harus segera ke sana."
Miriam tampak terkejut dan khawatir. "Aku sangat sedih mendengarnya," katanya dengan lembut. "Kamu memang harus ada di sana untuk menemani ibumu. Beliau pasti sangat membutuhkanmu. Jika ada yang bisa aku bantu dari sini, beri tahu aku."
Perasaan campur aduk mengisi hatimu. Kamu merasa bersyukur atas dukungan Miriam, tetapi juga merasa sedih karena sejujurnya kamu tidak tahu akan berapa lama di kampung halaman. Dan yang paling takutkan, kamu tidak akan kembali. Kamu tahu sekali di usia ibumu yang sudah tidak muda lagi, beliau sering sakit-sakitan. Apalagi semenjak bapakmu meninggal, ibumu tidak lagi punya siapa-siapa untuk teman berkeluh kesah. Kalian hanya bisa bertukar cerita melalui telepon, itu pun kamu harus bersusah payah naik ke pagar long house untuk mendapatkan sinyal. Tentu juga dengan waktu yang terbatas.
Kamu selalu saja sedih ketika membayangkan kesendirian ibumu di kampung halaman. Ia mesti mengurus dirinya sendiri lantaran kamu yang merupakan anak semata wayangnya justru bekerja jauh di seberang pulau. Padahal kamu berharap bisa seperti anak pada umumnya; merawat dan menemani orang tuanya di usia senja.
"Bu, apa ibu ikut pindah ke sini saja?" tanyamu di suatu malam melalui sambungan telepon. Saat itu, ibumu terdengar batuk berkali-kali. Kamu yang khawatir lantas menawarkan hal tersebut. Menurutmu, jika ibumu ikut bersamamu, setidaknya ada yang bisa membantunya dalam banyak hal; merawatnya, menyiapkan makanan, juga mengantarnya berobat.
Di sela batuknya ibumu menjawab. "Ibu ndak mau. Ibu mau di sini saja. Ibu ndak mungkin bisa ninggalin rumah kita ini. Kalau ibu ke sana, siapa yang ngurus rumah ini?"