Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #7

Semakin Dekat

Adanya banyak hal di dunia ini yang memang ditakdirkan berbeda namun dapat saling berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain: bulan dan bintang, pelangi dan hujan, juga laut dan sungai. Namun, apakah demikian pula yang ditakdirkan atas perjumpaan kamu dan dia?

***

Setelah percakapan panjangmu dengan Miriam senja kemarin, kamu terus kepikiran mengenai hubungan kalian. Kamu memang mencoba bersikap biasa saja, seperti yang telah kalian sepakati. Namun, justru hal itu membuat kamu dan ia sama-sama terlihat saling menghidar satu sama lain. Bahkan ketika berpapasan, kamu hanya melemparkan senyum hambar, persis seperti saat kamu sedang menyapa orang asing.

Pertemuan kalian jadi tidak seintens sebelumnya. Tentu saja itu justru membuatmu merasa sangat tersiksa. Kamu jadi merindukan saat-saat kebersamaan kalian sebelumnya. Dulu, sebelum kalian saling mengungkapkan perasaan, setiap pertemuan dengan Miriam adalah sebuah pelarian dari rutinitas kerjamu yang melelahkan. Bersamanya penatmu teralihkan. Energimu yang habis terkuras, seakan-akan pulih kembali. Kamu dan Miriam benar-benar saling melengkapi. Kamu terik matahari dan ia hujan yang mendinginkan bumi. Pertemuan kalian menghasilkan pelangi. Hadirnya perempuan berambut sebahu itu di kehidupanmu berhasil menjadikan hari-harimu jauh lebih berwarna. Menjadi oase menyejukkan di tengah padang gurun yang tandus dan gersang. Sebelum pada akhirnya kamu tahu kalau oase itu Tuhan hadirkan bukan untukmu.

Bicara mengenai perasaan, kamu pada akhirnya menyerah. Benteng pertahananmu runtuh juga. Kamu sungguh tidak lagi bisa mengabaikan begitu saja rasa di hatimu yang tercipta untuk Miriam. Jika mulut bisa berdusta, maka tidak demikian halnya dengan hati dan perasaan. Pada akhirnya kamu mengibarkan bendera putih sebelum pertarungan di dalam batinmu reda. Cinta memang sedemikian gila. Hingga pada akhirnya sepulang bekerja kamu memutuskan menemui Miriam di dermaga. Kamu yang hampir putus asa, sama sekali tidak peduli dengan pandangan orang-orang terhadap kalian. Kamu masih percaya bahwa cinta itu universal, meski kamu juga percaya bahwa perihal agama adalah tiang utama dalam seluruh aspek kehidupan. Harga mati, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Perjumpaanmu dengan Miriam itu mengundang banyak tatap pertanyaan dari orang-orang. Untungnya Miriam masih menjaga martabatmu sebagai seorang atasan. Ia lantas mengajakmu menjauh, memintamu untuk bicara di dekat kamu memarkirkan sepeda motor.

"Aku tidak bisa terus-terusan mengabaikan perasaanku ke kamu, Miriam. Kamu terlalu malaikat untuk aku yang iblis. Kamu pun terlalu sempurna untuk aku yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Lantas bagaimana mungkin bisa aku mengusirmu dari dalam hatiku."

Miriam tersenyum. Hangat. "Aku kira hanya aku yang merasa begitu." Miriam menjeda kalimatnya. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah ia sedang membuang beban berat yang bercokol di dadanya. "Setiap kali aku memejamkan mata dan membuang bayanganmu dari pikiranku, wajahmu justru semakin jelas menghantui. Barangkali aku memang sudah gila."

"Aku pun dulu tidak percaya perihal cinta yang benar-benar bisa membuat orang tergila-gila. Aku pikir, cinta tidak lebih dari komitmen di antara dua insan untuk saling melengkapi satu sama lain dan tidak saling meninggalkan."

"Aku juga bingung. Yang aku tahu cinta tidak semenyakitkan ini." Miriam bicara dengan tuturnya yang lembut seperti biasa. Sesekali ia menoleh pada sekumpulan karyawan lain yang sedang menyiapkan perahu untuk pulang ke rumah masing-masing. Kamu masih tidak habis pikir bagaimana masyarakat setempat bisa sedemikian berani mengarungi sungai yang begitu luas hanya dengan sebuah perahu kecil. Bahkan kamu pernah melihat sebuah sampan yang dinaiki lima orang penumpang. Permukaan air terlihat nyaris sejajar dengan dinding sampan tersebut. Mengingat itu, bulu kudukmu berdiri.

Lihat selengkapnya