Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #11

Awal Konflik

Benar kata orang, cinta itu bisa datang dan pergi dengan sesukanya. Tidak mampu diprediksi. Seperti halnya yang kamu alami. Kamu yang dulu pernah sakit lantaran dikhianati oleh masa lalu dan berpikir akan sulit sekali sembuh luka, apalagi mencari pengganti, nyatanya kembali jatuh hati pada perempuan berambut sebahu dan berpikiran terbuka. Kecerdasannya, tutur bahasanya, hingga caranya memperlakukanmu dengan setiap lengkung senyum yang terukir hangat di bibirnya, mampu membuat rasa itu hadir. Rasa yang tidak bisa dimungkiri membuat dadamu berbunga-bunga. Sebab, jika hati sudah memilih, maka kepadanyalah ia akan menjatuhkan diri.

***

Seiring waktu berjalan, bersamaan dengan detak jam yang terus bergulir, dan burung-burung kembali bermigrasi, hubunganmu dengan Miriam semakin mendalam. Kamu mulai merasakan betapa berartinya ia dalam hidupmu. Namun, yang namanya sebuah hubungan, pasti akan selalu ada batu sandungan. Seperti halnya jalan, tidak selamanya ia akan mulus. Akan selalu ada kerikil dan pecahan kaca yang tersebar di mana. Jika sial, maka kakimu akan terluka. Maka demikianlah ujian pertama yang mesti kalian lalui di balik kebahagiaan yang kalian rasakan.

Suatu sore, setelah bekerja seharian di lapangan dan menuntaskan pemeriksaan administrasi di kantor kebun, kamu mendengar kabar bahwa ada sedikit konflik yang terjadi di antara masyarakat sekitar dengan perusahaan. Permasalahan itu kabarnya sudah terjadi sejak rencana akan adanya perusahaan kelapa sawit yang hendak didirikan sejak dua tahun lalu. Ada beberapa oknum yang merasa hadirnya perusahaan akan berdampak pada terjadinya pencemaran lingkungan, baik air maupun tanah. Meski pada akhirnya ketakutan masyarakat tersebut dapat diredam oleh komitmen perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam mengelola manajemen perusahaan berkelanjutan: pembatasan penggunaan pestisida kontak, penggunaan pupuk yang terkontrol, hingga menjaga buffer zone di tepian sungai untuk tidak dibuka. Meski tidak dapat dimungkiri bahwa hadirnya perusahaan perkebunan juga mampu membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Atas pertimbangan itulah, kepala desa yang lama memperbolehkan perusahaan beroperasi, termasuk melakukan pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit asalkan sesuai dengan prosedur dan tetap memperhatikan ekosistem dan lingkungan sekitar.

Namun, pagi tadi, menurut kabar yang kamu dapatkan dari salah seorang staf, ketika kepala desa yang lama lengser dari jabatannya, kini oknum yang dulu sempat menentang keberadaan perusahaanlah yang terpilih. Kabarnya, ia mulai mempersulit beberapa urusan perusahaan dengan desa. Terutama mengenai beberapa perizinan yang sifatnya begitu penting.

"Kita hanya bisa menunggu keputusan final yang diambil kepala desa dan manajemen kita," ujar rekanmu itu tadi. Wajahnya tampak kusut sekali.

"Memangnya ada prosedur perusahaan yang sudah kita langgar?"

Rekanmu menggeleng. "Tidak ada. Hanya saja kepala desa yang terpilih memang sejak awal menentang keberadaan perusahaan perkebunan kita. Kata warga sekitar, beliau memang begitu konsen pada kelestarian lingkungan. Bisa jadi itu alasan ketidaksukaannya. Kita harus waspada, jangan sampai ada hal kecil yang bisa memicu permasalahan dengan pihak desa."

Kamu jadi ingat perihal hukum adat yang pernah kamu dengar dari salah seorang warga yang tinggal di dekat sekolah minggu. Masyarakat setempat memang begitu menjaga lingkungan dan ekosistem yang ada di dalamnya. Untuk anak keturunan mereka kelak, kata mereka. Kamu jadi bisa melihat permasalahan yang terjadi dari dua sisi. Memang di satu sisi, perusahaan perkebunan sudah mengantongi izin untuk kegiatan ekspansi lahan dari pemerintah. Namun, di sisi lain, perusahaan juga harus memikirkan kemaslahatan masyarakat di sekitarnya baik melalui program CSR atau sebagainya.

"Jadi, apa masalahnya?" tanyamu lagi. "Bukankah kita sudah bekerja sesuai prosedur?"

"Ini tentang rencana kita untuk membuka akses jalan dan dermaga yang melalui desa. Beliau menolaknya. Padahal kita butuh jalan itu untuk mengefisienkan pengiriman pupuk dan pestisida. Juga untuk distribusi pengiriman buah ke pabrik di kabupaten tetangga jika kelak kebun kita sudah panen." Rekanmu itu menjeda sejenak kalimatnya, sebelum kemudian kembali berujar. "Padahal dengan adanya jalan yang kita buat, akses ke kampung akan lebih terbuka. Untuk ke pasar orang-orang tidak perlu lagi menggunakan perahu atau kelotok. Tapi, menurut kepala desa, hal itu akan membuat orang-orang asing mudah masuk ke kampung mereka. Bisa menyebabkan tingkat kriminal meningkat, alih-alih memikirkan peningkatan ekonomi dan perkembangan warganya.

Sementara ini, kamu hanya mengangguk-angguk. Kamu penasaran apakah Miriam juga sudah mengetahui mengenai permasalahan ini. Bisa jadi, di kampung sana, kabar mengenai permasalahan perusahaan dengan kepala desa sudah menyebar. Untuk mencari informasi lebih, kamu memutuskan untuk bertanya pada Miriam. Kebetulan sore ini kalian sudah membuat janji temu. Benar saja, ketika kamu sampai di dermaga, kamu melihat Miriam sudah duduk menunggu di tepi sungai.

Tidak seperti biasanya, pandangan Miriam kosong. Padahal biasanya ia selalu menikmati pemandangan ketika matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Langit disepuh jingga.

"Sudah lama nunggu?" ucapmu ketika kamu sudah berdiri tepat di sisi Miriam yang rupanya tengah melamun. Sapaanmu itu nyatanya mampu mengagetkannya.

Dari jarak kalian yang sudah sedemikian dekat, kamu semakin bisa menemukan wajah Miriam yang tampak tidak tenang. Dengan jelas kamu bisa tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran perempuan berambut sebahu itu.

"Ada apa, Miriam?" tanyamu, berusaha mencari tahu.

Lihat selengkapnya