Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #6

Rahasia Miriam

Kamu tahu, ada dinding kokoh yang tinggi menjulang di antara kalian. Namun, kamu selalu mencoba mencari celah dan jalan keluarnya. Seperti halnya kamu percaya bahwa di dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan, maka demikian pula kamu berharap akan adanya secercah cahaya dalam hubungan kalian. Kamu ingin terus bisa bersama, meski takdir mengatakan belum saatnya. Lantas, kamu hanya punya dua pilihan: menyerah atau pertahankan sampai kalian sama-sama menemukan jalan.

***

Kamu baru saja selesai rapat membahas perkembangan penambahan luas tanam baru kelapa sawit dengan manajer dan staf yang lainnya. Tidak seperti biasa, kali ini rapat agak molor. Kamu yang mulai tidak tenang, sedari tadi hanya bisa memperhatikan jam dinding yang menggantung di ruang rapat. Waktu itu hari menunjukkan pukul lima lebih dua puluh lima menit, ketika manajer memberikan kalimat penutup. Kamu segera meninggalkan ruang rapat dan memacu laju motormu menuju dermaga.

Kamu ingat siang tadi saat dalam perjalanan pulang menuju long house, kamu berpapasan dengan Miriam yang sedang menunggu truk jemputan karyawan. Kebetulan saat itu ia sedang duduk agak jauh dari rekan-rekan kerjanya yang lain yang pada hari itu mendapat tugas untuk menabur umpan racun tikus. Di lahan yang baru ditanami kelapa sawit, tikus merupakan hama pengganggu yang paling dominan menyerang. Tujuannya tentu saja memakan umbut sawit yang bergizi. Hingga kalau serangan sudah sangat parah dan mencapai titik tumbuh, bibit sawit yang baru ditanam tersebut akan mati, atau paling tidak tumbang. Hal itu tentu saja sangat merugikan perusahaan.

"Nanti temui aku pukul lima di dermaga. Ada yang mau aku sampaikan," katamu singkat dan juga pelan. Kamu tidak ingin rekan-rekan Miriam mendengar percakapan kalian.

Tanpa mengucapkan apa pun, Miriam hanya mengangguk tanda mengerti. Setelah itu, kamu kembali menarik gas motormu dan berlalu. Masih sempat kamu amati Miriam dari pantulan spion motor. Gadis itu memandangi punggungmu yang berlalu.

Untuk memenuhi janjimu siang tadi, kamu memacu motormu agak kencang. Meski sudah lewat dua puluh menit dari waktu yang telah kamu janjikan, kamu berharap Miriam masih ada di dermaga.

Langit di ufuk barat mulai meredup. Jalanan yang kamu lalui sudah dipenuhi bayang-bayang tumbuhan di kiri kanan. Sebentar lagi jalanan itu akan benar-benar gelap. Apalagi jalanan di perkebunan tidak memiliki lampu penerangan seperti halnya jalanan di kota metropolitan. Hal itu membuatmu semakin ragu apa mungkin Miriam tetap setia menantimu di dermaga sana.

Untunglah keraguanmu itu segera terjawab. Begitu kamu tiba di tepi dermaga, kamu masih menemukan Miriam di sana, di dekat perahu kecil miliknya yang tertambat.

Melihat kehadiranmu, Miriam tersenyum. "Aku kira kamu lupa dengan janjimu."

Kamu menggeleng cepat. "Maaf, ya. Hari ini rapatnya agak panjang. Sudah nunggu lama?"

"Hampir setengah jam. Ngomong-ngomong, gimana rapatnya?” tanya Miriam sambil kembali tersenyum. Meski wajahnya terlihat agak kemerahan setelah seharian bekerja di bawah terik matahari, Miriam tidak terlihat lelah. Ia justru masih bisa melengkungkan senyumnya yang tentu saja amat menawan.

“Target tanam baru mingguan kami tercapai. Divisiku yang paling tinggi progress-nya,” jawabmu bangga.

"Selamat, ya." Miriam bertepuk tangan kecil. "Betewe, kalau boleh tau, untuk apa kamu ngajakin aku ketemuan?"

Lihat selengkapnya