Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #16

Kasus Terpecahkan

Dalam hidup, terkadang apa yang kita yakini dan percayai benar pada kenyataannya tidak selalu demikian. Kita tidak boleh memandang sesuatu hanya dari satu sisi; melihat dari sudut pandangmu saja tanpa mau melihat dari sudut pandang orang lain. Padahal dalam hidup, yang benar tidak selamanya benar dan yang salah tidak selamanya salah, Benar dan salah hanyalah penilaian orang yang sifatnya tidak mutlak dan masih bisa didebat.

***

Rustam berdiri di depan kerumunan warga yang berkumpul di depan balai adat. Sementara kamu bersama manajer dan rekan-rekan kerjamu lebih memilih mengamati dari jarak belasan langkah di sisi kiri sang kepala desa tadi. Ekspresi laki-laki itu menunjukkan kemarahan serta kekecewaan. Di sampingnya, beberapa perangkat desa juga turut mendampingi. Sesekali mereka terlihat menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Sementara yang lain menampakkan wajah penuh penyesalan.

“Saya tahu semua orang sangat marah dan kecewa dengan kejadian beberapa hari ini,” kata Rustam dengan suara yang berat. “Tapi, saya harus jujur. Setelah penyelidikan yang dilakukan, ternyata bukan perusahaan yang menyebabkan matinya ikan-ikan di sungai tempo hari. Perusahaan kelapa sawit tidak pernah melakukan pencemaran sebagaimana yang pernah saya tuduhkan sebelumnya. Jadi, untuk itu, saya ingin meminta maaf secara langsung kepada Bapak Manajer dan semua stafnya.”

Rustam berjalan ke arahmu. Ia lalu menyalami manajermu dan memeluknya sebagai bentuk permintaan maaf. Melihat adegan itu, kamu tahu bahwa masalah kesalahpahaman yang terjadi sudah terselesaikan. Sementara itu, warga desa yang sebelumnya sempat terpancing dan menyalahkan perusahaan, kini menatap satu sama lain dengan bingung. Ada rasa bersalah yang membuat mereka malu lantaran telah telanjur salah sasaran. Beberapa di antaranya bahkan sempat menjadi provokator.

Rustam lalu kembali ke tempatnya semula. Masih sambil berdiri di hadapan warga yang berkumpul, Rustam memanggil seseorang di belakangnya. Seorang laki-laki berusia kepala tiga itu maju dengan langkah gontai. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seolah-olah ingin menyembunyikan wajahnya dari tatapan puluhan pasang mata warga yang hadir. Begitu posisinya telah sejajar dengan Rustam, kepala desa itu lalu memberi kesempatan kepada si laki-laki untuk bicara.

Lihat selengkapnya