Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #9

Sekolah Minggu

Manusia hanya bisa berencana. Dan tetap Tuhan yang selalu menjadi penentunya. Kamu boleh saja memiliki seribu rencana. Namun, jika Tuhan belum berkehendak, maka sampai kapan pun rencanamu itu tidak akan terwujud. Batu boleh saja keras, mau dihantam gada sekuat tenaga pun tidak akan bisa retak. Tapi, Tuhan menciptakan air yang sedemikian lembut. Dengan lembutnya tetes air yang jatuh dengan sabar di tempat yang sama, perlahan namun pasti akan mampu mengikis kerasnya permukaan batu. Demikianlah hidupmu, kamu tidak pernah tahu bagaimana cara semesta menempamu. Di luasnya semesta, kamu ibarat tokoh figuran, dengan Tuhan sebagai penulis skenarionya. Kamu pun tidak pernah tahu rencana mana yang paling baik untukmu. Tapi, yakinlah Tuhan dan semesta selalu mampu menunjukkan jalan terbaik dengan caranya sendiri.

***

Kamu benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang Miriam. Maka kemarin, ketika ia hendak menyalakan perahu untuk pulang ke kampungnya di seberang sungai, kamu menghentikan gadis itu. Untung saat itu hanya Miriam yang tersisa di dermaga, sementara karyawan yang lain sudah beberapa menit sebelumnya melajukan perahu bermesin 2 PK milik mereka ke arah pulang.

"Miriam, boleh besok pagi jemput aku di dermaga sini?" ucapmu dengan napas memburu. Wajar saja, kamu tadi setengah berlari menuruni anak tangga karena takut Miriam sudah lebih dulu menyeberang. Sebab, kalau gadis itu sudah berada di kampung halamannya, kamu tahu ponselnya akan sulit sekali mendapatkan sinyal. Kamu ingat sekali Miriam pernah bercerita perkara ia yang terpaksa harus naik bukit di belakang kampung hanya untuk mencari sinyal. Tidak beda jauh dari kamu yang harus berdiri di pagar long house untuk bisa menelepon ibumu.

"Tapi, besok ...."

Belum sempat Miriam menyelesaikan kalimatnya, kamu segera menyela. "Aku tahu besok kamu mengajar di sekolah Minggu, kan?" Miriam mengangguk, dan kamu pun melanjutkan. "Justru itu, aku penasaran bagaimana, sih, sekolah Minggu itu."

"Yakin?"

Kamu mengangguk. "Mengetahui hal-hal baru itu mengasyikkan, kok."

"Oke. Kalau gitu besok aku jemput nuan di sini pukul tujuh pagi. Sepuluh menit tidak ada di sini, aku kembali lagi ke kampung."

"Siap, laksanakan," sahutmu sembari memberi hormat dengan tubuh tegap.

Melihat tingkahmu itu, Miriam tertawa lepas. Keras sekali. Sampai-sampai ia kaget sendiri dengan suara tawanya yang lantang.

Besoknya, sesuai perjanjian, kamu datang tepat waktu. Tidak lupa kamu juga membawa baju pelampung untuk berjaga-jaga. Bagimu mengendarai perahu kecil milik Miriam adalah tantangan terberat bagimu. Paranoidmu terhadap sungai beraliran deras itu belum juga hilang.

***

Kamu berdiri di ambang pintu sebuah bangunan berbentuk seperti gereja. Dari Miriam, kamu tahu kalau dulu bangunan itu memang bekas gereja lama yang diubah menjadi sekolah Minggu. Sementara gereja baru yang dibangun lebih besar berada tidak jauh dari sana.

Dari ambang pintu itulah kamu memperhatikan Miriam yang sedang mengajar anak-anak di dengan penuh semangat dan kasih sayang. Suara ceria anak-anak yang menggema di ruangan itu berpadu dengan nada lembut Miriam saat dia menjelaskan kisah-kisah dari Alkitab. Meskipun kamu seorang Muslim, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang di dalam ruangan itu membuatmu merasakan ketenangan dari sekadar perbedaan agama. Kamu begitu miris ketika belakangan ini banyak oknum yang justru mengadu domba dan membentrokkan agama hanya untuk menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Padahal, pada dasarnya semua agama mengajarkan perdamaian dan ketenteraman.

Kamu tidak habis-habisnya melengkungkan senyum ketika memperhatikan bagaimana Miriam dengan sabar menjawab setiap pertanyaan anak-anak dan memandu mereka melalui aktivitas kreatif dan menyenangkan. Ada sesuatu yang mengesankan dari caranya berinteraksi dengan anak-anak. Miriam begitu keibuan meski usianya masih sangat muda. Dalam hatimu, kamu merasa terinspirasi oleh mimpi-mimpi besarnya untuk mendidik dan membangun generasi muda. Itulah alasan mengapa Miriam ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi keguruan. Ia ingin sekali mengajari anak-anak di kampung halamannya itu baca tulis. Sebab, di sana, hanya ada satu sekolah dasar formal, tetapi masih minim murid lantaran fasilitas sekolah yang terbatas. Belum lagi hanya ada beberapa bangunan kelas yang tersedia, sisanya butuh perbaikan dan renovasi besar-besaran, sehingga menyebabkan para orang tua merasa enggan menyekolahkan anak-anaknya di sana.

Di satu waktu, seorang anak menghampiri Miriam dengan penuh antusias, menunjukkan gambar yang baru saja ia warnai. Miriam membungkuk dengan senyum, memuji usaha anak tersebut dengan tulus. Kamu bisa melihat betapa bahagianya anak itu ketika dia menerima pujian. Ada sesuatu yang universal tentang kegembiraan ini. Saking asyiknya kamu memperhatikan cara Miriam membina anak-anak, kamu sampai tidak sadar kalau kegiatan sekolah Minggu itu hampir usai. Miriam berdiri di depan kelas dan menutupnya dengan doa.

"Sepertinya kamu memang punya bakat mengajar," katamu sambil tersenyum simpul. "Aku bener-bener kagum dengan caramu mengajar anak-anak tadi. Mereka tampak sangat antusias dan gembira."

Lihat selengkapnya