Kamu pada akhirnya percaya bahwa di dalam setiap pertemuan, pasti ada hikmahnya. Seperti halnya kamu yang bertemu dengan Miriam. Selain mampu mengisi hari-harimu, nyatanya Miriam juga bisa menjadi teman bertukar pikiran. Perempuan itu memiliki saran dan masukan yang mampu membuatmu menyelesaikan persoalan demi persoalan yang ada. Kamu jadi ingat pesan ibumu, bahwa sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Kamu tidak bisa sendiri, meski kamu berupaya untuk menjadi mandiri. Kamu paham bahwa mandiri tidak melulu soal bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain. Yang harus kamu pahami, kamu butuh orang lain, seperti halnya kamu membutuhkan Miriam.
***
Dengan di antar Miriam, kamu mendatangi kantor desa. Kamu merasa perlu sesegera mungkin menjelaskan bahwa peristiwa matinya ikan-ikan di sungai bukanlah disebabkan oleh pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan sebagaimana yang sang kepala desa itu yakini. Kamu tidak ingin asumsi masyarakat di luar sana semakin bergulir bak bola liar. Toh, sekarang kamu sudah memiliki beberapa foto hasil penyelidikan kalian sebagai bukti. Kamu juga sudah berdiskusi dengan manajermu mengenai rencanamu untuk langsung menemui si kepala desa, dan syukurnya manajermu itu setuju. Hanya saja ia tidak bisa mendampingimu. Ia perlu melakukan penyelidikan lanjutan atau saksi yang barangkali tahu tentang pelaku penebar tuba. Dengan jabatannya sebagai manajer, tentu akan lebih mudah baginya untuk mencari tahu akan hal tersebut.
"Masuklah sendiri. Aku akan menunggu di luar." Begitu Miriam berucap ketika kamu mengajaknya menghadap bersama. Kamu paham, barangkali perempuan berambut sebahu itu tidak nyaman jika berhadapan langsung dengan sang ayah yang sedang mengenakan jabatannya.
Kamu yang baru masuk kantor desa, langsung diarahkan salah seorang pegawai menuju ruang kerja Rustam. Begitu kamu mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, kamu langsung mendapati sebuah ruangan yang terasa nyaman meskipun tidak luas. Ruang kerja kepala desa itu dihiasi dengan berbagai potret kegiatan desa dan peta-peta lokal. Rustam menyambutmu dengan sikap formal, meski kamu merasa ada sorot ketidaksukaan yang tergambar jelas di matanya.
"Selamat siang, Pak." Kamu membuka percakapan. "Boleh kita bicara?"
Rustam mengangguk dan mempersilakan kamu duduk di kursi kosong yang berada tepat di depan mejanya. "Selamat siang. Apa yang mau kamu sampaikan?"