Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #15

Praduga


Setiap masalah akan datang dalam hidupmu. Tinggal bagaimana cara kamu untuk bertahan dan menghadapinya dengan keikhlasan. Kamu harus yakin dan percaya bahwa setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Kamu hanya butuh mencari celah untuk bisa mendapatkan solusi. Sebagaimana pepatah berkata; tidak akan ada usaha yang mengkhianati hasil.

***

"Aku harus bicara dengan ayahku," ujar Miriam saat kalian keluar dari kantor desa. Menurut Miriam ayahnya itu pastilah pulang ke rumah. Ia butuh secangkir kopi untuk menenangkan pikiran.

Kamu yang penasaran mengikuti langkah Miriam. Ia bilang rumahnya tidaklah jauh dari kantor desa. Tepat di depan rumah yang hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari kantor desa, Miriam berhenti dan menoleh sebentar kepadamu. Ia memintamu untuk tidak menjawab apa-apa jika ayahnya mendebat panjang lebar. Lalu, perempuan itu mengajakmu masuk ke ruang tamu.

Miriam lantas masuk ke dapur. Sepasang matamu terus memperhatikan ruang tamu yang dipenuhi dengan pigura berisikan foto-foto Miriam bersama Rustam. Mereka kelihatan bahagia sekali meski hanya tinggal berdua. Kamu jadi ingat perihal dirimu sendiri. Meskipun kamu dulu hanya tinggal berdua dengan ibumu, tapi kamu pun sama bahagianya. Membayangkan itu, kamu jadi teringat pada ibumu di kampung halaman sana.

Tidak lama, terdengar suara Miriam yang mulai bicara dengan Rustam. Sementara dari kursi ruang tamu. sepasang telingamu awas mendengarkan setiap kalimat yang Miriam ucapkan kepada sang ayah.

Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan sang ayah di kantor desa tadi. Miriam pasti merasa perlu untuk bicara empat mata dengan ayahnya itu. Kamu tahu sekali bahwa Miriam memahami bahwa meskipun perusahaan kelapa sawit nantinya terbukti tidak bersalah, ada kemungkinan bahwa ayahnya tetap tidak terima. Dari Miriam, kamu tahu kalau Rustam adalah tipe manusia keras kepala. Hanya putrinya itu yang mampu meluluhkan hatinya. Maka dari itu, meski tahu Rustam masih menyimpan marah padanya setelah membelamu yang merupakan perwakilan perusahaan secara terang-terangan Miriam tetap memberanikan diri memberikan perspektif lain kepada ayahnya itu.

Di sela percakapan putri dan ayahnya itu, kamu mendengar denting suara sendok yang beradu dengan gelas. Barangkali benar dugaan Miriam, Rustam sengaja menyeduh kopi untuk menenangkan pikirannya. Dari situ, kapu pun paham jika hubungan di antara mereka pastilah sangat dekat. Terbukti, Miriam bisa menerka kebiasaan ayahnya tadi.

Miriam kembali membuka suara. "Aku tau ayah masih marah," ujarnya. Dari tirai dapur yang setengah terbuka, kamu lihat perempuan itu lalu duduk di kursi kosong yang menghadap ke meja dapur, di depan ayahnya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Ayah, aku ingin membicarakan masalah pencemaran sungai yang kita bicarakan sebelumnya."

Rustam menatap Miriam dengan serius. Sejujurnya ia terlihat masih tidak tertarik dengan pembicaraan itu. Ia juga sempat menatap ke arahmu, lalu berpaling memandang wajah Miriam kembali. "Apa lagi yang ingin kamu sampaikan?"

Miriam berbicara dengan hati-hati, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang dan penuh pengertian. "Aku tahu betapa peliknya masalah yang terjadi dan betapa besar dampaknya terhadap lingkungan di kampung kita. Namun, aku merasa kita tidak bisa begitu saja menutup mata bahwa pencemaran tidak berasal dari perusahaan kelapa sawit."

Rustam mengerutkan dahi. "Semua perusahaan pasti sama saja, menebar janji-janji lalu merusak alam. Tunggu saja, suatu saat nanti kamu akan paham kalau sudah ada korban yang jatuh."

Miriam melanjutkan dengan lembut. "Aku paham kekhawatiran ayah, Tapi, aku sudah menemukan fakta yang tidak bisa kita mungkiri. Matinya ikan-ikan jelas disebabkan tuba. Bukan dari limbah atau racun dan bahan-bahan berbahaya yang berasal dari perusahaan sawit."

Rustam tampak merenungkan kata-katamu. "Jadi, menurutmu aku harus menghentikan tuntutan pada perusahaan."

Lihat selengkapnya